By:Benny Benardie
Aktifitas negeri itu dari zaman dahulu kala hingga kini tidak begitu banyak berubah. Hanya bedanya, zaman kini semakin banyak dan bahkan terus nambah pahlawan dari Negeri Ulu.
Haya saja pahlawan Negeri Ulu ini memakai topeng. Tidak sama dengan pahlawan di luar negeri seperti Satria Baja Hitam atau Sincan. Biarpun topengnya beda, namun sifat daripada kepahlawannya itu sama aja secara umum.
Banyaknya pahlawan bertopeng, ternyata masyarakat Negeri Ulu ini rupanya bukannya tambah riang dan senang, malahan risih, begah dan risau. Mungkin sosok pahlawan itu sudah terlalu banyak, sehingga variasi hidup jadi terganggu.
Pertanyaan pertamanya adalah, bagaimana kalau negeri itu banyak penjahatnya, sediikit pahlawannya bertopeng ataupun tidak? Tentu jawabnya akan sama dengan yang pertama tadi. Kedua, kenapa pahlawan itu harus memakai topeng kalau negeri itu sendiri banyak pahlawan?
“Tampaknyo agak tinggi kajian kito ari ko dak Cik. Awak pernah membaco tokoh nang awak kagumi. Namonyo idak usah awak sebutkan. Katonyo, Kalu Segalo Orang Dimuko Bumiko Kito Katokan Gilo Galo, Sebenarnyo Siapo Nang Gilo” tanya seorang aktivis, kritis dan inovatis, sayangnya enggan menyebutkan namanya.
Cukup berisi pertanyaan dan bahasa aktivis itu kali ini. memang begitulah seharusnya generasi muda. Jawab dari pertanyaan aktifis itu adalah, yang bertanya itulah yang gila.
Terlepas itu semua, ternyata para pahlwan bertopeng itu bukan orang yang dari awal hidupnya orang baik, seperti layaknya pahlawan di Negeri Antahberantah.
Mereka itu mantan penjahat di Negeri Ulu. Karena itu mukanya ditutupi topeng. Konon katanya, sesama pahlawan bertopeng punya kode etik, tahu sama tahu, cincailah.
Kalau begitu ceritanya jelas aktivis sembari sumringah dan merasa lega, beruntung Negerinya di Bengkulu tidak ada pahlawan bertopeng seperti yang diceritakan, meskipun ia sudah 20 tahun belum pernah balik ke Provinsi Bengkulu.
Penulis dan jurnalis