Kamis, Maret 28, 2024

Hukum Adat Tak Hanya Soal Cuci Kampung

Ilustrasi : Istimewa
Ilustrasi : Istimewa

Bengkulu, kupasbengkulu.com – Medio 2010, 18 petani asal Desa Pering Baru, Seluma, Bengkulu dijatuhi vonis pengadilan tiga bulan 20 hari karena melakukan gugatan atas tanah yang mereka miliki digunakan oleh PTPN VII sebagai perkebunan kelapa sawit. Padahal secara adat tanah tersebut adalah milik Komunitas adat Suku Serawai.

(Baca juga: Efek UU Desa Seperti Bola Billiard)

Nenek Minah, di Banyumas harus dijatuhi hukuman penjara akibat mencuri tiga buah kakao di perkebunan perusahaan. Di Kabupaten Kaur empat petani divonis penjara karena bertempat
tinggal di Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Fakta kasus masyarakat kecil harus menerima vonis pengadilan begitu banyak untuk dicatat dalam sejarah hukum Indonesia. Padahal, ada aturan hukum adat yang diakui konstitusi namun ini jarang menjadi pertimbangan penegak hukum dalam memutuskan perkara.

(Baca juga: Mencari Rasa Keadilan, Pluralisme atau Sentralisme Hukumkah?)

“Hukum adat tak hanya soal cuci kampung lalu memotong kambing dan makan sekampung, itu bagian terkecil namun ada satu kepentingan besar lainnya bila hukum adat yang diakui negara itu diimplementasikan dalam seluruh aspek bernegara,” kata Direktur Akar, Erwin Basrin, Jumat (17/10/2014).

Hukum adat Indonesia merupakan hukum murni yang lahir dari kearifan lokal masyarakat lalu diberangus oleh hukum imperialis atau hukum yang negara mayoritas gunakan saat ini.

Ia menambahkan jika sebuah wilayah mengakui tegaknya hukum adat maka komunitas tersebut dapat menyelesaikan persoalan mereka dengan hukum adat tanpa harus membawa ke ranah
pengadilan hukum negara.

(baca juga: Penerapan UU Desa Terganjal PP dan Perda)

“Hal yang sama juga dalam ruang hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam, mereka dapat saja menolak aktifitas pertambangan jika dianggap tak membawa kebaikan,” tegas Erwin.

Ada beberapa syarat hukum adat diakui negara pertama adanya wilayah adat, kedua lembaga adat, ketiga, adanya hukum adat yang masih berlaku, keempat sistem leluhur adatnya.

“Keempat hal ini disebutkan dalam UU 41 tentang Kehutanan,” beber dia.

UU Desa

Lahirnya UU Desa nomor 6 Tahun 2014 semakin membuka peluang hukum adat ditegakkan dalam UU tersebut dikatakan masyarakat dapat memilih dua bentuk pemerintahan desa, pertama desa administratif seperti desa kebanyakan ataukah desa adat yang pemberlakuannya mengikuti seperti adat setempat dalam segala aktifitas termasuk soal hukum dan tata kelola sumber daya alam.

Persoalan UU Desa tidak saja berisikan setiap desa mendapatkan Rp 1 miliar tetapi lebih jauh dari itu. Menurut Erwin dengan memilih pemerintahan desa adat maka masyarakat setempat dapat menjalankan kebiasaan adat mereka dalam setiap perkara dan kepentingan.

Pengelolaan Hutan

Soal pengelolaan hutan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 35 tahun 2013 menyebutkan hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi hutan negara. Putusan ini menjadi titik tolak bagi ribuan masyarakat di Bengkulu yang masih tumpang tindih di wilayah hutan taman nasional.

(Baca juga: Gubernur Bengkulu Raih Penghargaan Peduli Masyarakat Adat)

Di Kabupaten Kaur misalnya beberapa masyarakat adat Semende Banding Agung harus dihukum penjara karena tinggal di wilayah TNBBS padahal jauh sebelum kawasan itu ditetapkan negara sebagai taman nasional mereka telah tinggal ditempat itu secara temurun, wilayah adat Semende Banding Agung.

Hal yang sama juga terjadi di Taman Nasional Kerinci Sebelat yang membentang di Kabupaten Lebong, Kaur dan Bengkulu Utara. Ribuan masyarakat Lebong yang tanahnya diambil oleh negara untuk dijadikan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Saat ini tidak sedikit masyarakat di sana tak memiliki tanah yang dapatr mereka gunakan untuk bertani. Imbasnya mereka menjadi buruh atau meninggalkan desa.

“Hampir 50 persen wilayah Bengkulu adalah hutan dan masyarakat hidup dari sana, sementara untuk berinteraksi dengan hutan masyarakat kerap ditangkapi,” jelasnya.

Ia berharap dengan keluarnya putusan MK 35 tersebut pemerintah daerah dapat menghormati keputusan tersebut dan mengakui keberadaan masyarakat bukan sebatas simbolik namun juga dalam hak ruang kelola masyarakat hingga hukumnya. Bentuk penghormatan tersebut adalah dengan menajalankan amanat konstitusi secara murni dan konsekwen.(kps)

Related

Songsong Kepemimpinan Berintegritas Era Society 5.0, Sespimma Lemdiklat Polri Gelar Seminar Sekolah

Kupas News – Untuk meningkatkan kemampuan kepemimpinan yang berintegritas...

Ratusan Nakes di Kota Bengkulu Terima SK PPPK

Kupas News, Kota Bengkulu – Sebanyak 264 orang tenaga...

Polisi Tangkap Pembuat Video Mesum Pasangan LGBT di Lebong

Kupas News, Lebong – Polisi menangkap BP (19) warga...

Sidang Isbat Putuskan Hari Raya Idul Fitri 22 April 2023

Kupas News, Bengkulu – Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian...

Polisi Ungkap Home Industri Senjata Api yang Sudah beroperasi Sejak 2012

Kupas News, Bengkulu – Polda Bengkulu ungkap pabrik pembuatan...