Jumat, April 19, 2024

Aku, Fitnah dan Pesan Kakek Ku

ersa

Cerpen: Benny Hakim Benardie
Pagi itu mentari bersinar lembut dikota kelahiran Fatmawati Soekarno. Pancar darah orang tua Ersa seakan bergolak dari dalam bumi, ingin berang, namun tertahan oleh tetesan air mata pilu derita fitnahnya.

Nana, begitulah sebutan nama kecil Ersa yang biasa dipanggil oleh kedua orang tuanya. 42 tahun bukan hal sebentar Tuhan mempesilahkan dirinya untuk cetar membahana, meskipun di negerinya sendiri. Primodialime terhadap tumpah darahi, bukan khayal. Usai sekolah tinggi, dunia kewartawananpun sempat dilakoni.

Fitnah yang dulu tak pernah menerpanya, kini mulai mendera. Ironisnya itu terjadi saat Ersa mencoba berdiri dan dipilih masyarakat sebagai representasi dari kungkungan aspirasi anak negeri.

“Maaf bu Ersa, sudah pukul 07,01 WIB, mobil dan tas ibu sudah saya masukan kedalam mobil,” sapa ajudan mengigatkan Ersa, agar segera ke gedung rakyat yang merupakan kantor barunya.

Ersa tersentak meregang urat. Rupanya Ersa sempat termanggu dengan fitnah, hujatan yang dialamatkan padanya. Padahal dirinya sendiri tidak memahami maksud dari penyebar fitnah dan hujatan itu.

“Eh ia Boy, tunggu aja di mobil, sebentar lagi kita berangkat”.

Dalam perjalanan, Ersa masih sempat menelepon suaminya yang hari itu katanya akan pulang dari Sumatera Barat.

“Ayah sudah dimana posisi sekarang? jadi pulang hari ini”.

“Lagi dibandara Bunda chayang. Bunda sudah berangkat kerja? Mungkin kalau nggak delay, siang ayah dah nyampe Ok Bun, Assalmualaikuuum ,” jawab Beno suaminya.

“Waalaikumsalam Ayah entuut,” jawab Ersa sembari bercanda,

Diterpa Demo
Setibanya di gedung rakyat, Ersa dengan wajah berseri menyapa rekan sesama kerjanya di Gedung Rakyat.

Baru masuk ruangan, terdengar suara berisik dari halaman gedung. Sekelompok anak muda menuntut dirinya hengkang dari tempat pekerjaan barunya.

“Maaf bu, a, a, ada orang demo tujuannya ke ibu,” kata ajudan sedikit gagap.

Ersa tampak senyum. “ya udah. saya sudah tahu”.

Rupanya hal itu sudah dipredisi Ersa jauh hari. namun itulah resiko sebagai sosok representasi orang yang dipilih. Nafas panjangpun keluar dari hidung Ersa yang mancung.

“Kuat Ersa,” ucapnya menghibur diri.

Tampak pihak kemananan gedung berjaga-jaga, mengantisipasi dari tindakan vandalis dan anarkhi dari para pendemo.

“Kami tidak sudi orang yang tebar pesona. Kami tak sudi dengan otang yang punya masa lalu memalukan. Kawan kawan, hari ini kita tuntut Ersa dikeluarkan dari Gedung Rakyat ini,” teriak koordinator demo.

“Setujuu….setujuu…Turunkan hari ini juga. Ungkap juga semua kasusnya”.

Dari balik kaca hitam, sayup suara tuntutan itu terdengar. Ersa tampak sedikit binggung dengan tudingan yang dialamatkan padanya. Dirinya sendiri tak tahu dengan apa yang dituntut pendemo itu.

Teringat Ersa saat dirinya memutuskan dirinya untuk terjun ke dunia politik setahun yang lalu. Ia sempat memahami pengertian politik dari salah seorang ilmuan yang mengatakan, politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan/teknik menjalankan kekuasaan/masalah pelaksanaan dan kontrol kekuasaan/ pembentukan dan penggunaan kekuasaan.

“Ah…..Itu hanya sekelompok ilmuan yang mengatakan seperti itu pengetiamn politik,” cetus pikiran di benar Ersa berbaur dengan ungkapan Syair Imam Syafi’i, seorang toko Islam.

“Janganlah pandang hina musuhmu, karena jika ia menghinamu, itu ujian tersendiri bagimu..”

Pergulatan pikiran gara-gara fitnah dan hujatan yang datang, membuat Ersa mengambil sikap tegar. tekadnya memperjuangakan aspirasi dan membangun negeri sendiri harga final sebagai tekad. Apalagi Sang suaminya selalu mensuportnya, agat terus maju.

“Sekali Bunda melangkah maju, jangan pernah katakan mundur, meskipun maju mundu itu cantik,” kenang Ersa dari kalimat suaminya yang selalu membuat dirinya senyum.

Tak Untung Dirundung Malang
Hari, minggu dan bulanpun terus mengitar, habiskan masa umur mahluk hidup. Rupanya tudingan dan fitnah bukannya meredah, terpaan anggin itu kian kencang menghanam.

Tak disangka, teman sejawatnyapun ikut memprovokasi menghancurkan Ersa. Seakan mengirim isyarat ke para pemfitnah, “Jangan henti menghancurkan, memiskinkan Ersa”.

Ersa teringat kata pepatah lama yang disampaikan kakeknya dahulu.

“Nana, kalau engkau sudah jadi orang besar nanti, ada yang perlu kamu ingat,” kata kakek.

“Apa itu kek,” tanya Ersa saat dirinya kala itu masih duduk di kelas dua SMA.

“Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin berhembus. Bila nana sudah melangkah, jangan berhenti di tengah badai. Lawan badai itu, teruslah berjalan”.

“Ia kek”.

Sembari terengah-engah nafas Sang kakek kembali mengajarkan cucu kesayangannya itu “Jangan Nana bersedih saat di timpa masalah. Tak Untung dirundung malang,” kata kekek.

Kenangan itu selalu diingat Ersa, apalagi saat dirinya kini di hantak tiga penjuru angin politik.

Penulis dan jurnalis

Related

Pendaftaran Lelang Jabatan 3 Kepala OPD Pemda Lebong Kembali Diperpanjang

Pendaftaran Lelang Jabatan 3 Kepala OPD Pemda Lebong Kembali...

Dua Sahabat Bang Ken Ambil Formulir Pendaftaran Cawagub

Dua Sahabat Bang Ken Ambil Formulir Pendaftaran Cawagub ...

Sungai Ulu Kungkai Meluap, Fasilitas Desa Wisata Arang Sapat Rusak Parah

Sungai Ulu Kungkai Meluap, Fasilitas Desa Wisata Arang Sapat...

Hasil Monev Penanganan Banjir Lebong Keluarkan 10 Arahan Strategis

Hasil Monev Penanganan Banjir Lebong Keluarkan 10 Arahan Strategis ...

Tahun Ini Kasus DBD di Seluma Alami Peningkatan, Begini Imbauan Dinkes

Tahun Ini Kasus DBD di Seluma Alami Peningkatan, Begini...