Sabtu, April 27, 2024

Catatan Diskusi “Kamisan” Menyoal Kemiskinan

diskusi kamisan yang digelar redaksi kupasbengkulu.com
diskusi kamisan yang digelar redaksi kupasbengkulu.com

Penulis: Melina Sirait*

Setelah molor beberapa menit, diskusi kamisan yang digelar redaksi kupasbengkulu.com pada kali ketiga minggu ini akhirnya bisa berlangsung. Meskipun para narasumber inti serentak berhalangan hadir namun tidak mengurangi semangat teman-teman dari AMAN, AKAR, HMI, PUSKAKI dan juga dua orang mahasiswa FISIP UNIB untuk membahas persoalan kemiskinan sebagaimana perspektif masing-masing lembaga ataupun personal.

Dengan merasa yakin bahwa kita yang dapat hadir hari ini tetap layak membahas persoalan kemiskinan ini karena sesungguhnya kemiskinan adalah masalah yang multi dimensional

Dimulai MA. Prihatno dari Yayasan AKAR, kemiskinan pada koordinatnya lebih pada kemiskinan idiologi. Kemiskinan idiologi adalah sebuah gambaran ketika seseorang ataupun komunitas masyarakat telah kehilangan identitas dirinya.

Masyarakat yang miskin adalah manusia yang pada kedudukan memiliki harga diri lalu kemudian menjadi “robot” ketika pemerintah terus menyuguhi solusi-solusi untuk keluar dari kemiskinan yang sifatnya ekonomi ataupun materi.

Sebagai contoh suatu waktu ketika seseorang ataupun suatu komunitas masyarakat mengantri untuk mendapatkan bantuan langsung berupa uang ataupun mendapatkan semacam “kartu penolong” yang menjamin mereka akan dilayani sebagai golongan miskin, maka seketika itu juga identitas diri masyarakat tersebut mulai hilang dan mentalnya pun termiskinkan.

Kemudian ketika kita mendengar enam belasan ribu anak berusia tujuh hingga lima belas tahun di Bengkulu tidak menikmati pendidikan formal akibat kemiskinan, maka dampaknya adalah anak-anak tersebut akan menyerap pendidikan dari lingkungan yang saat ini membentuk manusia-manusia yang reifikatif (sebuah kondisi dimana kualitas manusia, tindakan manusia, hubungan antar manusia bahkan manusia itu sendiri ditransformasikan menjadi benda atau komoditas) yang celakanya pada akhirnya ini akan menciptakan generasi yang kehilangan identitas bahkan anomie (kacau).

Sesungguhnya hal ini juga membahayakan bukan hanya bagi anak-anak yang tidak mampu duduk di sekolah formal tetapi juga anak-anak yang sedang mengenyam pendidikan formal karena sistem pendidikan di Indonesia saat in cederung terpaku mencetak manusia menjadi “robot” yang disiapkan untuk memenuhi keinginan pasar.

Pada akhirnya para calon generasi penerus ini akan masuk dalam daftar antrean menuju kehidupan kemiskinan yang mungkin sudah berubah wajah pada masa-masa depan yang belum bisa kita tafsirkan. Yang dimulai dari sebuah kemiskinan idiologis. Demikianlah yang dapat di paparkan oleh Atno dari sudut pandangnya yang sedikit ribet tapi penting untuk kita pahami kedalamannya.

Kemudian giliran Deftri Hamdi dari AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) memaparkan persolan kemiskinan yang dimulai dari sistem global. Ditinjau sejak dipopulerkannya konsep pembangunan developmentalisme pasca perang dunia ke II oleh negara kapitalis AS dan negara Eropa Barat yang mengeluarkan ide tentang pengkategorian negara kelompok pusat ataupun negara kaya, negara antara dan negara kelompok pinggiran atau terbelakang.

Paham developmentalisme ini dipercaya akan memperkuat negara dunia kedua dan ketiga melalui proses industrialisasi yang menyontoh/ berkiblat pada kemajuan-kemajuan negara-negara dunia pertama.

Sistem ini lalu bentuk stigma miskin terhadap negara-negara terbelakang termasuk Indonesia pada masa itu juga mengadopsi sistem developmentalis tersebut. Dan dampaknya adalah negara-negara yang melabelkan dirinya sebagai kelompok negara maju, pemodal dan menguasai teknologi kemudian menjadikan negara-negara yang berlabel miskin terbelakang sebagai lahan komodifikasi mereka.

Andang dari AMAN menambahkan bahwa efek sistem pembangunan developmentalisme ini menyebakan dua hal yang membekas hingga saat ini dan menjadi problem yang rumit untuk diselesaikan. Sistem ini telah menciptakan kemiskinan kultural di Indonesia oleh karena stigma kemiskinan yang ditanamkan oleh pihak asing yang terpatri pada mental masyarakat Indonesia sehingga Indonesia tidak pernah mampu menjadi bangsa yang mandiri.

Kedua gagalnya trickle down effect telah menjadikan ketimpangan yang sangat jauh antara si kaya dan miskin di Indonesai dan ini berlangsung hingga saat ini.

Pembahasan Deftri yang lebih mengarah ke masalah kemiskinan yang terjadi di desa mengutip gagasan orisinil Gusdur soal penanggulangan kemiskinan yang pertama, mengembangkan ekonomi berdasakan kearifan lokal, dengan memercayakan kepada masyarakat desa bahwa mereka mampu membangun dengan mengembalikan identitas keadaan kedusunan/ kedesaan mereka.

Kedua adalah masyarakat jangan dijadikan menjadi objek pembangunan tetapi masyarakat harus menjadi subjek pembangunan pembangunan dan ketiga Industri harus di kembangkan/ dibangun di tingkat desa sehingga dapat dikelola oleh masyarakat desa itu sendiri yang pada keseluruhannya adalah membangunan masyarakat desa yang mandiri.

Ahmad Fikri, mahasiswa FISIP Unib mengatakan bahwa desa sesungguhnya memiliki potensi untuk mandiri untuk menopang kehidupan desa. Desa bisa dikembangkan dengan membangun seperti industri agribisnis yang ramah lingkungan.

BUMDES harus dibangun dan diberdayakan di tiap desa. Dalam hal ini juga pemerintah harus menyediakan infrastruktur yang memadai dan terus melakukan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. Pentingnya mempertahankan dan mengembalikan kearifan lokal sehingga memperkuat struktur informal desa disertai dengan memperbaiki struktur formal desa.

Dari sisi korupsi Melyansory (PUSKAKI) mengatakan tingginya tingkat korupsi di Indonesia semakin memiskinkan rakyat. Letak kesalahannya adalah pada sistem birokrasi dan budaya birokrasi yang terbangun selama ini dan juga faktor “kerakusan” manusia yang berkuasa yang membuat mereka dengan mudah menjual kekayaan alam Indonesia kepada pihak asing dan menikmati sendiri hasil pekerjaannya itu.

Pada akhirnya Deftri menutup diskusi ini dengan beberapa point penting yaitu pertama masyarakat adat/desa bukan kelompok masyarakat termarjinalkan yang dilabelkan oleh pemerintah. Masyarakat desa adalah komunitas yang kaya dan indikatornya adalah memiliki tanah dan seluruh sumberdaya alam yang terkandung didalamnya.

Kemiskinan masyarakat adat disebabkan oleh pemerintah yang dilakukan secara sturtural dan kultural. Permasalahan kemiskinan bisa tersolusikan dengan merujuk kembali pada UUD 1945 pasal 18B (2) dan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa.

Serta tidak boleh diabaikan bahwa pembangunan harus sesuai dengan apa yang sesungguhnya dibutukan masyarakat desa dan perlu dikawal penuh sehingga tidak terjadi kebocoran ataupun korupsi oleh pihak-pihak yang terkait.

Begitu kompleksnya persoalan kemiskinan ini sehingga kita tidak dapat berharap penuh kepada pemerintah untuk menyelesaikanya secara keseluruhan. Sehingga harus dimulai dari kerjasama yang apik antara pemerintah, NGO dan masyarakat untuk menyelesaikan masalah kemiskinan ini.

Terakhir dari Andang Salah satu langkah kecil yang mampu kita lakukan adalah dengan mengembangkan rasa empati kita terhadap keadaan di sekitar kita dan bersedia mewakafkan diri untuk menyelesaikan persoalan yang memiskinkan dan persoalan yang menjadi dampak kemiskinan disekitar kita.(***)

Pengasuh “diskusi kamisan” kupasbengkulu.com

Related

Songsong Kepemimpinan Berintegritas Era Society 5.0, Sespimma Lemdiklat Polri Gelar Seminar Sekolah

Kupas News – Untuk meningkatkan kemampuan kepemimpinan yang berintegritas...

Ratusan Nakes di Kota Bengkulu Terima SK PPPK

Kupas News, Kota Bengkulu – Sebanyak 264 orang tenaga...

Polisi Tangkap Pembuat Video Mesum Pasangan LGBT di Lebong

Kupas News, Lebong – Polisi menangkap BP (19) warga...

Sidang Isbat Putuskan Hari Raya Idul Fitri 22 April 2023

Kupas News, Bengkulu – Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian...

Polisi Ungkap Home Industri Senjata Api yang Sudah beroperasi Sejak 2012

Kupas News, Bengkulu – Polda Bengkulu ungkap pabrik pembuatan...