By: Benny Hakim Benardie
Siang itu tahun 1824 sekira pukul 02.19 WIB, para nelayan dikejauhan tampak sibuk berjibaku ditengah laut, mengais rezeki. Sementara para ibu tampak sibuk menjalin atap rumbia, guna mencari tambahan ekonomi keluarga. Tepian pantai tampak anak-anak berlari-lari sembari bermain kuda api, yang merupakan permainan rakyat peninggalan tertuah dahulu.
Negeri Mati……Ya begitulah para kolonial Inggris menyebutnya, meskipun jauh sebelum kedatangan mereka, negeri ini tergores nama Bengkulu, seperti tertera pada peta abad ke-14 masehi .
Minah yang duduk diunggukan tanah daerah Tapak Paderi, hanya berdiam diri, menatap kosong ditengah laut lepas. Sesekali pekikan keluar dari mulutnya, seperti meratapi hidup. “Woi……Woiii jangan makan sendiri”, pekiknya kearah laut lepas.
Rupanya Si Minah sudah lima tahun menjanda, akibat suaminya tewas di hukum tembak. Konon kematian suaminya itulah yang acap kali diratapi, disesali Minah. Dirinya tahu betul, tidak mungkin pujaan hatinya itu melakukan pencurian roti dirumah salah satu tuan tanah. Apalagi saat kejadian berlangsung, saat dirinya sedang berduaan dikamar memadu asmara.
“Mina baliklah, ariko la petang, klak ado ombak bloro (Nina pulanglah, hari sudah sore, nanti ada ombak besar mendadak)”, teriak Wan said dari atas plangkinnya (gerobak yang ditarik sapi).
Sedikitpun Minah tiada bergeming dari duduknya. “Hhm…Kalau Tak Berada Ada, Takkan Burung Tampua Bersarang Rendah”, gumamnya hingga mentari terbenam dibalik luasnya laut Negeri mati, Minahpun beranjak pulang .
Temui Radja Bilang
Rumah berlantai tanah, berdinding pelupuh dengan sehelai tikar pandan, Minah menjalani hidupnya sendirian, tanpa anak dan suami. Lintasan pikiran memberikan motivasi, agar dirinya segera mengadu ke hoodf jaksa Radja Bilang. Paling tidak dirinya dapat tahu kenapa suaminya dituduh bersalah. Kenapa jaksa menuntut mati, hingga hakim pengadilan menjatuhkan hukuman bagi pujaannya itu.
Bakkata pepatah, “Radja alim Radja disembah, Radja lalim Radja disanghah”. Hanya saja Radja bilang bukannya seorang yang disembah, melainkan seorang penuntut dalam penegakan hukum.
Pagi pagi sekali, Minah sudah melangkah ke Benteng Marlborough, untuk menemui hoofd jaksa Radja Bilang, yang menurut masayarakat ia sering duduk duduk di halaman benteng.
“Hei….kamu tidak boleh masuk, pergi sana”, teriak polisi jaga.
“Saya ingin bicara dengan jaksa”, mohon Minah
“Pergi….Pergi, atau kamu saya tangkap masuk jel”, bentaknya kembali.
Rupanya teriakan itu didengar hoofd jaksa Radja Bilang yang tampak konsen membaca buku. “Siapa….Biarkan orang itu masuk”, selanya.
“Tabik tuan”, tegur Minah
Pencerahan
Kesempatan bertanya soal tuntutan suaminya ditanyakan Minah, sembari mata berbinar-binar. Sepatu putih sang jaksapun tak luput dari tetesan airmata janda sebatang kara ini. Suami mati, bertahun ejekan dialamatkan padanya. Hidup makan sisa belas kasihan orang nan lalu, meskipun pintapun enggan dilakukan Minah.
“Tabik tuanku Radja Bilang, mengadu hamba, soal kematian suamiku yang tidak bersalah. Saat kejadian pencuria itu, suamiku sedang bersamaku memadu kasih. Hamba ingin keadilan tuanku?” pinta Minah.
“Tak ku tuntut anak negeriku sendiri, bila fakta menunjukan dirinya tidak bersalah. Tapi kerabatku sekalipun, akan ku tuntut dera, bila fakta menunjukan anak negeriku ini bersalah. Kebenaran hanyalah milik Tuhan”, kata Radja Bilang sembari mengangkat bahu Minah yang tertunduk takut menatap pancaran mata Sang Jaksa..
“Tuangku, sadarkah tuangku kalau di dunia ini ada benar, ada serupa benar. Ada salah, ada serupa salah. Jadi tunjukan padaku hak ku yang diambil oleh pengatur negeri tuan?”, ujar Minah.
Sambil mengelu keningnya yang berpeluh, akibat surya Dhuha diatas kepala, Hoofd Jaksa Radja Bilang sumringah. “Kalaulah aku tahu suamimu tidak bersalah, takkan dirinya aku bawa kepengadilan. Takkan tuntuan mati diberlakukan wahai yang merasai teraniaya”, tegur Radja Bilang membuat Minah menengadah.
“Dimana hak adil ku untuk mengadu tuan?” tanya Minah dengan suara bergetar.
Berkerut kening Radja Bilang. “Adil itu ………………….Adil mu di Tuhan. Karena hidup ini sesungguhnya merdeka sesuka kita. Asal di ingat, Tuhan tetap Tuhan, kita bukan Tuhan”.
“Kenapa engkau tuntut mati suamiku tuan jaksa, kalau itu memang kenyataan dalam hidup ini?”, tanya Minah lagi dengan nada tinggi.
“Saya berani menuntut mati suamimu, karena aku ingat Tuhan tetap Tuhan, aku bukan Tuhan”.
Minah sedih bercampur gerap. Pernyataan Sang jaksa tidak dia mengerti. “Tabek tuan, aku pulang. Tuhan mungkin akan segera memangilku, itupun bila ia perkenankan”, ucap Minah beranjak pergi.
Di keesokan harinya masyarakat negeri mati heboh. Minah ditemukan bersimbah darah, terbujur kaku di sebelah rumah tuan tanah yang menuding suaminya melakukan pencurian. ***