Kamis, April 25, 2024

Cerita Munculnya Marhaenisme

Bung Karno saat melihat sebuah patung yang belakangan ia berinama Marhaen
Bung Karno saat melihat sebuah patung yang belakangan ia berinama Marhaen/sumber facebook

Kata Marhaen merujuk pada Bung Karno. Penuturan sejarah menyebutkan, Bung Karnolah yang menemukan perkataan ini pertama kali. Dia pula yang paling berkontribusi mengangkat istilah ini masuk dalam gelanggang politik.

Baiklah, kita lihat akar historisnya. Dalam buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung Karno mengatakan, ia menemukan istilah marhaen pada usia 20 tahun. Artinya, itu terjadi kira-kira tahun 1921.

Alkisah, Soekarno sudah lama merenungi, atau lebih tepatnya berusaha memahami, tentang klas-klas dalam masyarakat Indonesia. Saat itu, Ia sedang bergumul dengan persoalan-persoalan teoritik. Akhirnya, pada suatu pagi, Bung Karno memilih mendayung sepeda tanpa tujuan. Mungkin sekedar “jalan-jalan”.

Saat itu, Bung Karno tinggal di kota Bandung. Nah, ia sedang jalan-jalan ke bagian selatan kota nan cantik itu. Nah, sesuai penuturan Bung Karno, Bandung selatan itu dikenal sebagai kawasan pertanian. Tiap-tiap petani mengerjakan sawahnya sendiri. Luasnya tidak melebihi dari sepertiga hektar. Ini menarik perhatian Bung Karno.

Ia mendatangi salah seorang dari petani itu. Terjadilah dialog dengan menggunakan bahasa Sunda. Pendek kata, dari dialog itu Soekarno menyimpulkan: petani itu mengerjakan sawah sendiri (warisan orang tua), menggunakan perkakas kerja sendiri, hasilnya hanya untuk menghidupi diri sendiri atau keluarga sendiri (tidak ada kelebihan untuk dijual), tidak mempekerjakan tenaga orang lain, dan punya rumah berbentuk gubuk yang dipunyai sendiri.

Nama petani itu adalah Marhaen. Sama seperti nama Jones atau Smith di Eropa, kata Bung Karno. Di situlah Bung Karno menemukan ilham (petunjuk): menggunakan nama Marhaen untuk menamai semua orang Indonesia yang senasib dengan petani bernama Marhaen itu.

Perlu diingat, Soekarno saat itu sudah aktif di pergerakan. Di Bandung, ia menjadi bagian dari kelompok diskusi “Algemene Studie Club”. Sejak itu, Soekarno mulai menggunakan istilah Marhaen dalam diskursus klas atau susunan sosial masyarakat Indonesia. Tetapi istilah itu tidak sempit merujuk ke petani saja.

Masih di buku yang sama, Bung Karno juga menyebut “tukang gerobak” sebagai marhaen. Sebab, si tukang gerobak punya alat produksi, tetapi tidak menyewa pembantu (tenaga kerja) dan tidak punya majikan. Inilah dasar dari penemuan ajaran Bung Karno: Marhaenisme.

Ia mengatakan, marhaenisme merupakan lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional bangsa Indonesia. Atau, istilah lainnya, teori yang disusun sesuai konteks historis dan kekhususan masyarakat Indonesia. Istilah Marhaen tidaklah jatuh dari langit sebagai sebuah ilham.

Ia merupakan hasil pergumulan teoritis dan observasi. Dan, saya kira, teori ini terus mengalami pengembangan dan penyimpulan-penyimpulan. Sekarang, kita ke pertanyaan: apa itu “Marhaen”? Di atas kita sudah menemukan kategori-kategori marhaen: pertama, ia merupakan pemilik produksi kecil.

Kedua, ia tidak menyewa atau mempekerjajakan orang lain. Alat produksi itu dikerjakan dengan tenaga sendiri (plus keluarga). Ketiga, ia tidak punya majikan. Keempat, hasil produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan keluarganya. Kadang hasil produksinya pas-pasan.

Singkat kata, Bung Karno mendefenisikan Marhaen sebagai berikut: seorang marhaen adalah seorang yang mempunyai alat produksi kecil; seorang kecil dengan alat produksi kecil, dengan alat-alat kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri.

Dalam terminologi marxis, ini mungkin sepadan dengan istilah “borjuis kecil”. Namun, Soekarno memberi penekanan pada istilah marhaen ini dengan perkataan “kaum melarat Indonesia”.

Artinya, meskipun ia pemilik produksi kecil—mungkin mirip dengan borjuis kecil—tetapi ia hidup sangat melarat. Dengan demikian, istilah marhaen mencakup petani kecil, pedagang kecil, pemilik usaha kecil, dan lain-lain. Dalam perkembangannya, Soekarno mulai memasukkan proletar sebagai bagian dari Marhaen Indonesia.

Pada tahun 1960-an, Soekarno menyebut kaum Marhaen itu terdiri dari tiga unsur: unsur kaum miskin proletar Indonesia (buruh), unsur kaum tani melarat Indonesia, dan unsur kaum melarat Indonesia lainnya.

Berdikarionline

Related

Cerita Sedih Irma June Dibalik Lagu Do Your Best yang Jadi Theme Song From Bali With Love

Kupas Musik - Kemerduan vokal yang dimiliki penyanyi legendaris...

AM Hanafi Sang Perlente Kawan Soekarno yang Disambut Fidel Castro

AM Hanafi (kiri) bersama Fidel Castro (kanan), Foto: Dok/margasarimaju.com AM...

Menjadi yang Terbaik Tak Perlu Menjatuhkan Pihak Lain

Inspiratif, kupasbengkulu.com – Seorang Guru membuat tangga 10 injakan, lalu...

Beni Ardiansyah Direktur WALHI Bengkulu Terpilih ” Keadilan Itu Harus Direbut”

Kota Bengkulu,kupasbengkulu.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu...

Otna Pilih Hidup Diatas Sampan Reot dan Air Payau Daripada Hidup Menjadi Budak

Kota Bengkulu,Kupasbengkulu.com -  Petang itu suasana di sudut Pesisir...