Jumat, Maret 29, 2024

Fitnah dan Jail

Cerpen: Benny Hakim BenardieLolos moderasi pada: 13 September 2018
Dinginnya malam usai hujan rintik-rintik serasa menusuk tulang. Tak satu katapun yang dapat terucap, selain pasrah akan hukuman selama satu tahun tiga bulan di dalam jail.
Aku tak menyangka, selama itu hakim menjatuhkan hukuman. Padahal aku tidak mencuri sendal jepit yang ditudingkan. Saat itu aku hanya memakainnya untuk pergi mengambil wudhu ke Musholah di seberang jalan. Rupanya pemilik sendal yang merupakan anak dari seorang perwira polisi meneriaki aku sebagai pencuri.
Sontak saja masyarakat menangkap dan menyerahkanku ke kantor polisi, setelah beberapa pukulan menghampiri wajah dan pinggangku.
“Ampun Bang… Aku tidak maling… Ampun Bang…” teriaku memohon, Usahaku sia-sia, massa terus menghajarku hingga aku pingsan beberapa saat.
“Ah… Alasan maling! Pukul terus… pukul… pukul”, teriak seseorang sebelum aku hilang kesadaraan.
Perasaan kalut bercampur baur saat aku di interogasi polisi. Aku tetap tidak mengaku kalau aku mencuri. Belum usai menjelaskan, aku tak sadarkan diri. Saat siuman, jeruji besi dan dinding ruangan pengap yang tampak di hadapanku. Kepalaku sakit sekali, seperti kena hantaman besi. Dadaku mulai terasa sesak.
“Nah… Sudah sadar kamu. Kamu Robi?” kata seorang polisi jaga.
Aku hanya bisa menganggukan kepala.
“Alamat di KTP kamu ini benar? Kamu tinggal sama orang tua atau Orang lain? Benar umur kamu 21 Tahun saat ini?”
“Benar… Sama paman dan bibi…”, jawabku terbata-bata. Polisi itu pun berlalu. Kebetulan di dalam jail, hanya aku saja yang menghuni.
Keesokan harinya aku kembali diperiksa hingga akhirnya kasus tetap berlanjut ke jaksa dengan barang bukti satu sendal jepit. Akhirnya putusan pengadilan tanpa bandinglah yang menghantarkan aku ke jeruji besi, beruangan sempit dan pengap.
Berdebar jantung berdegup kencang, saat pintu jail ditutup banting oleh seorang sipir. Setiba di depan di ruangan, tampak 13 orang berbadan kumal, bertato tanpa baju menantiku.
“Kamu masuk sini. Jangan ribut. Kalau ribut, kamar gelap tempat kamu nanti”, kata seorang sipir penjara sembari mendorongku masuk.
Di dalan kamar aku disambut seseorang pria bertubuh kerempeng, berbadam pendek. Rupanya dia adalah kepala kamar jail. Ketakutanku tak terbayangkang, saat rambutku dijambak pria tadi.
Siapa nama kamu? Apa kasus kamu?” bisiknya, membuat merinding bulu kudukku.
Gagap aku menjawab. Satu tamparan aku terima, sampai-sampai hingga badanku berputar. Aku menangis, dan minta tolong jangan dipukul. Rupanya permohonan aku itu membuat penghuni kamar tertawa.
“Badan saja yang besar…”, bentak salah seorang tahanan sembari menoyor jidatku. Aku hanya bisa tertunduk takut. Keringat dingin pun mengucur. Tak terasa akupun pipis. Untung saja tidak ada di antar mereka tahu.
“Tolong aku Tuhan…” doaku dalam hati.
Sore menjelang ba’da Shalat Ashar tiba. Sembilan tahanan di kamarku dipersilahkan keluar kamar jail. Aku hanya bungkam tak berani bertanya, kenapa aku tidak. Ternyata mereka menuju arah masjid yang ada di penjara peninggalan Belanda ini, untuk shalat. Sementara empat tahanan lainnya tinggal di kamar, karena beragama non muslim.
Aku sempat binggng saat akan permisi ke WC, karena harus melangkahi seorang tahanan yang lagi tertidur. Maksudku diurungkan karena kagok bercampur takut. Tayamum langkah yang harus aku lakukan.
Meskipun harus shalat sembari duduk, terpaksa. Mengingat kecilnya kamar jail yang kutempati. Ditambah lagi ada senior tahanan yang lagi tidur mendengkur dan tiga orang lagi tampak sedang duduk saling pijat bahu.
“Aku numpang sholat sebentar… Maaf Bang!”
Tak ada sedikitpun jawaban dari mereka, seakan tak menghiraukan aku, atau mungkin karena melihat kondisiku yang lagi lemah, dengan beberapa lebam di wajah. Baru saja sholat akan dimulai, aku sempat kaget saat mendengar deheman dari belakang
“E Eheemmm…”
Mereka yang melihatku kaget, malah tertawa terkekeh-kekeh.
Malam pertama aku di kamar jail sakwasangka mengerayangi pikiranku. Aku tak bisa membayakan apa yang terjadi bila gelap menjelang. Setiap nafasku doa selalu kupanjatkan, minta pertolongan dan perlindungan Tuhan.
Sempat aku berfikir untuk bunuh diri. Untung saja situasi dan kondisi kamar tidak memungkinkan aku melakukan perbuatan fasik itu.
Malam sudah pukul 20.12 WIB, itu yang kudengar pembicaraan dari orang kamar jail sebelah tempatku. Rasa laparku amat sangat melilit perut. Mau menoleh apakah yang lain punya makanan, aku tak berani. Jangankan bicara, dengar dehemannya saja aku kaget bukan kepalang.
Dari sudut kirim kamar ada yang memanggil. “Hei cengcorang ke sini kamu”.
Aku tak mengubris. Aku tetap menundukan kepala. Karena aku kira suara itu memanggil orang lain. Ternyata itu sebutan baru aku yang diberikan oleh kepala kamar. Terakhir baru aku tahu kalau nama panggilannya, Bang Mamat.
Saat panggilan kedua, aku sempat mengintip. Ternyata arah panggilan itu untuk aku. Bergegas aku mendekat.
“Sa…aya Bang”.
“Duduk sini pijat kaki ni”, kata Bang Mamat sembari menunjuk mengunakan rokoknya.
Tampa ba bi bu, aku segera memijat. Sementara tahanan lainnya mulai mengantuk, kecuali satu orang yang tidur di dekat kamar mandi tadi.
Bang Mamat menanyakan kenapa sampai aku bisa mendekap di jail ini. Setelah aku ceritakan, rupanya sangarnya tak sesanggar yang disangka. Bang Mamat juga seorang perampok, tapi dulu. Terakhir dirinya dijebloskan lagi dalam jail, akibat fitnah. Padahal Bang Mamat sudah lama bertobat, tidak merampok lagi.
“Itulah kenyataannya. Fitnah itu lebih kejam dari pembunhan”, kata Bang Mamat.
“Iya Bang, mungkin aku kebetulan saja naas”.
“Ah kamu ini…” bentak Bang Mamat, hingga aku sempat melepaskan pijatan di bahunya. “Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua yang terjadi merupakan kehendak Tuhan. Kita di sini kehendak Tuhan. Tuhan lebih tahu apa yang baik kedepannya untuk kita”, suara Bang Mamat mulai tinggi membuat semua buluku merinding.
Tanganku terasa sudah pegal. Tapi aba-aba untuk usai belum juga ada sinyalnya dari Bang Mamat. Pelan sedikit, dehemanpun keluar dari bibirnya yang banyak bekal luka, mungkin akibat pukulan.
“Ingat ini semua temuan hidup. Kita di sini senasib. Kamu sudah makan?”
“Belum Bang dari pagi”.
“Ambil nasi aku tu. Kenapa apa kamu tidak punya keluarga?”
“Ada paman sama bibi. Orangtuaku sudah nggak ada lagi Bang”.
Jawabanku tak direspon. Nasi jatah kepala kamar aku makan. Saat makan, tak ada suaara yang indah di sini, selain suara teriakan, dengkuran atapun keluhan di tiap sudut kamar jail.
Tak sadar, aku pun terkeleyep tidur di dekat piring makan, tanganpun masih penuh nasi. Baru saja senyap, satu tendangan mendarat di kepalaku.
“Pindah kamu di ujung”, sambil menunjuk ke arah pintu jail. Bak tentara diperintah komandan, segera aku laksanakan, sebelum tendangan berikutnya mendarat di pipi.
Malam itu seperti pesawat tentara sekutu ingin mengempur Indonesia, tak henti melintas di telinga. Nyamuk besar bukan kepalang bukan main banyaknya. Para tahanan, tampaknya sudah bersahabat dengan para nyamuk.
Satu ekor gigitan nyamuk, rasanya seperti satu kali kena suntikan perawat yang baru belajar nyuntik. Lah ini, nyamuk yang ada ribuan ekor!
Semuanya sudah terjadi dan harus diterima. Disaat dingin mulai menusuk tanpa selimut dan bantal dalam keheningan malam, deraian air mata membasahi pipiku. Tetap tidak sedikitpun suara yang mampu aku keluarkan. Terngiang aku akan nasehat ayahku, kala dirinya masih hidup dan bertugas di Bengkulu City.
Dengan mengelus kepalaku. Ayah menasehatiku, agar tidak cengeng sebagai anak lelaki, anak tunggal pula. Pesan Ayah, anak lelaki tempat mengadu, anak perempuan tempat kembali.
Pilu rasanya saat teringat nasehat ayah. Air mataku mengalir mengikuti jeruji besi yang kokon menghalang. Terakhir sebelum ayah meninggal, aku juga terkenang pesannnya dengan mengunakan Bahasa Bengkulu, tidak memakai bahasa Melayu tinggi. Sudah cukup lama juga keluargaku bergaul dengan penduduk setempat.
Tangisanku sekuat tenaga kutahan agar tak bersuara saat mengenang pesan ayah, yang berharap aku mejadi seorang polisi. Itu disampaikannya setelah dua bulan ibuku meninggal akibat terkena peluru nyasar entah dari mana.
“Robi… Ingat pesan ayah untuk kamu sebagai lelaki. Batu Bulek idak besending. Kemano Lurah Ngguling. Kebilah Sehelai Daun, Burung Pipit Idak Besarang (Batu bulat tidak ada sisinya. Ke mana jurang akan berguling terus. Sehelai daun jatuh di bilah bambu. Burung pipit tidak bersarang)”.
Tak sadar suara tangisanku memecah tidur para tahanan.
“Hoi… Diaaam… brisiiik monyet”, teriak beberapa tahanan. Kali ini tak aku gubris. Raunganku terus kulepas, hingga akhirnya sipir penjara menyambangi dan memboyongku ke ruangan khusus dan pengap tanpa penghuni.
Kini aku adalah aku. Tak seorangpun tahu siapa aku, tidak juga aku. aku adalah aku.
Penulis adalah Pemerhati Sejarah dan Budaya Bengkulu.
 
The post Fitnah dan Jail appeared first on kupasbengkulu.com.

Related

Sriharti di Negeri Bukan Perawan

Hembusan angin senai-senai saat mentari menyengat Negeri Bengkulu,  sudah...

Malam Pembantaian Thomas Parr 1807 (Tamat)

Peran  Orang Dalam Tahun  kepemimpinan Residen Thomas Parr dianggap melakukan...

Malam Pembantaian Thomas Parr 1807 (Part 2)

Siapa Pelakunya “Pribumi tak berprikemanuasiaan, kejam dan sadis”. Itulah yang...

Malam Pembantaian Thomas Parr 1807 (Part 1-3 tulisan)

“Malam itu, sekelompok pribumi merangsek masuk Gedung Mount Felix...

Girik Cik: Matisuri Peradatan di Negeri Bukan Kukang

Tekad  anak negeri ingin “Adat Bersendi Sarak, Sarak Bersendikan...