Kamis, Maret 28, 2024

Impian Besar di Negeri Kushan

 PHOTO CERPEN RONAL

                                                            Ilustrasi
Cerpen: Ronal Utama
Cerita ini bermula ketika seorang pemuda yang berniat untuk menjadi raja di Negeri Kushan.  Pemuda ini bernama Hasan Munir, sosok sangat agamis, ibadahpun tak pernah ditinggalkan. Setiap tempat ibadah datanginya untuk beribadah,  dan sedekahpun tak pernah ditinggalkan.
]
Perawakan khas berjengot ini betemu dengan sahabat karibnya bernama Julius. Mereka bercerita dengan rekannya tentang dirinya untuk mencalonkan diri menjadi raja. Didalam percakapan, Hasan terbetik dalam pikirannya, untuk mengajak Julius menjadi penasehatnya, namun Julius tersenyum entah mengapa!

“Saya ingin menjadi raja, wahai sahabat ku Julius. Sudikah engkau sahabatku untuk menjadi penasehatku,” ujar Hasan kepada sahabatnya itu.

“Wahai sahabatku, aku tersenyum bukan menghina atau menyudutkan niat besarmu itu. Aku hanya memikir tentang penduduk disini. Mereka haus akan harta, ilmu hingga kasih sayang. Jika nanti kita tak dapat membalas kebaikan itu semua, bagaimana mereka melihat diri kita. Apakah mereka membanggakan kita? Namun dibelakang tidak demikian,” balas Julius.

Setiba dirumah, Hasan termenung memikirkan percakapan singkat pada sahabatnya tadi. Berdiri menuju ke dapur untuk membuat secangkir kopi hangat, sambil menghisap rokok kesukaannya. Hasan mulai merenung untuk membangun negerinya ini.

“Aku harus bisa menjadi raja bagi orang yang saat ini terlantar akan kemisikinan, kebodohan dan kurang kasih sayang. Tapi bagaimana caranya? Haruskah aku betapa atau meminta ilmu agar dapat menjadi raja,” lamunnya.

Berbagai cara menuju impiannya agar terwujud, diupayakan Hasan. Mencari penasehat dari beberapa guru dilakukannya. Maklum Hasan adalah jebolan anak pesantren ternama di negeri itu.

Saat di pesantren, Hasan merupakan santri termuda dan bnrilian. Setiap guru memujinya dan menyayanginya. Bhakti adalah sosok guru yang paling mengerti keadaan santrinya. Setiap ada permasalahan, gurunya itu memberikan wejangan pada Hasan.

“Tuan Guru, aku sedang kebingungan. Aku tak pernah segalau ini. Tak pernah sebimbang ini. Aku mempunyai tujuan besar dan impian yang besar. Diriku ingin menjadi raja,” terang Hasan.

Gurunyapun kaget sembari tersenyum mendengarkan ucapan santinya itu. Sikap terkejutnya itu karena perasaan yang bahagia. Kebahagiannya itu memberikan pesan untuk Hasan, agar tak mudah putus asa dan yakin dengan pendirian impian nya itu.

Bagaimana bisa engkau mempunyai impian sebesar itu. Apakah kau siap dengan penantian di dunia akhirat nanti? Disana akan engaku pertanggungjawabkan perilaku mu itu. Ingatlah engku saat menjadi raja nanti, dimana sahabatmu dan dimana lawanmu.

“Aku cuma berpesan agar kau tetap mengingat pencipta alam ini dan aku tak mempunyai apa apa untuk dirimu. Bawalah  kitab ini untuk dibaca, agar kau ingat dari mana asalmu dan kain panjang ini untuk kau cium saat waktunya tiba,” pesan Sang Guru.

Terus Mencari
Ketemu Sang Guru, rupanya belum melepas kegalauan Hasan. Tekad harus menjadi raja terus diupayakannya,  dengan apapun dan bagaimanapun. Meskipun harus  menemui  dukun sakti mandra guna bernama Sutarno, kakek yang berumur 87 Tahun cukup disegani.

Kakek Sutarno juga tersenyum melihat Hasan mendatanginya. Suguhan air putih ditawarkan, tanpa perlu Hasan  berucap kakek tua inii sudah paham maksud kedatangan Hasan.

“Pak Raden, kenapa engkau memberikan segelas air putih kepadaku, sedangkan aku baru sampai dan belum meminta minuman kepadamu,” kata Hasan yang selalu mendapat senyuman kesekian kalinya, apalagi sebuat benda azimat sempat dititipkan padanya.

“Aku memliki benda yang sakti untukmu, pegang la batu ini. Ingat jika malam purnama tiba, mandikan batu ajian ini dengan darah ayam betina, agar khasiat batu ini tetap melekat,” katanya.

Sekembalinya Hasan dirumahnya, sorot mata kosongpun tampak, akibat dua sisi berbeda yang dipegangnya saat infgin mewujudkan impiannya.

Merebut Kekuasaan
Waktu demi waktu berjalan, hingga pemilihan raja pun dimulai. Dalam pemilihan itu, hanya dua calon yang niat menjadi raja. Dimana Rivalnya adalah Ahmad. Ahmad lebih tua dari Hasan. Ahmad memang sebelumnya pernah menjadi raja selama satu tiga tahun.

Dalam istana para penduduk dipersilahkan untuk memilih raja barunya. Kerajaan ini memberikan aturan terhadap penduduknya, agar memilih satu kali saja. Jika lebih dari satu kali, maka akan dibatalkan. Perasaan Hasan bercampur aduk ta karuan. Jantungnya terasa dag dig dug. Maklum peristiwa yang ditunggu tunggu akhirnya tiba. Apalagi mengingat ada kerajaan yang demokratis seperti kerajaan ini.

Dalam nomor urut, Hasan memiliki nomor satu. Sedangkan rivalnya mendapatkan nomor dua. Nomor ini dipilih berdasarkan pendaftaran pertama, dimana Hasan mendaftar pertama di Istana Biru itu. Sedangkan Ahmad baru mendaftar. Ahmad banyak dikenal penduduk disana, selain itu Ahmad pun dikenal dermawan. Beda dengan Hasan, ia baru dikenal dengan impian besarnya itu.

Suasana pemilihan  meneggangkan. Keduanya berniat kuat  menjadi Raja di Istana Biru. Dua kursi diperuntukan untuk kedua calon.  Hasan dan Ahmad duduk berdampingan. Ini adalah khas adat istiadat istana yang dekmokratis dalam pemilihan raja. Adat tersebut memberi makna terpenting, dimana calon raja diperkenalkan bagi penduduk. Disanalah Hasan bertemu dengan Ahmad dan saling bersapa sembari menunggu keputusan dari dewan kerajaan.

“Wahai sahabatku, sebesar apakah dirimu untuk menjadi raja. Apakah engkau serius untuk mengerjakan seluruh tugas yang engkau pikul nanti,” tanya Ahmad sembari sumringah.

Kembali senyuman itu membuat Hasan hening berpikir. Mengapa setiap orang yang ia jumpai tersenyum melihat niat besarnya itu. Sembari berpikir untuk menjawab pertanyaan Ahmad, Hasan memegang batu yang ia bawa dari dukun sakti mandra guna.

“Aku mempunyai niat besar, sebesar alam semesta ini. Yakin akan menjadi pimimpin ini, aku ingin membantu masyarakat agar dapat berubah dengan baik dan sejahterah tentunya,” jawab Hasan sembari raut wajah memerah.

Entah mengapa ia berubah menjadi emosi, ketika menjawab pertanyaan dari rivalnya itu. Namun Ahmad tak tersinggung dengan sikap Hasan itu. Sembari kembali tersenyum Ahmad, menanyakan langkah awalnya ketika Hasan menjadi raja nantinya.

“Bolehkah aku bertanya apa langkah mu untuk menjadikan kerajaan ini menjadi sejahtera dan makmur,” ujarnya.

“Tak perlu banyak langkah. Aku hanya menumpaskan orang yang bersifat otak kotor dan memperkaya masyarakati, agar dapat sejahterah,” jawabnya.

“Sekarang aku bertanya kepadamu, bagaimana dengan dikau, langkah apa yang engkau lakukan,” tanya balik Hasan ke Ahmad.

“Aku hanya bekerja setulus hati, sembari berdoa kepada yang maha kuasa, agar penduduk ku nantinya sadar dengan prilakunya. Jika malas mereka sadar agar rajin nantinya,” jawab Ahmad.

Detikpun berjalan dengan sendirinya, waktu pun menunjukan agar keputusan Raja diumumkan. Kedua calon Raja inipun merasakan penasaran siapa yang akan menang dalam perlombaan Raja itu. Salah satu perwakilan Istana mengumumkan hasil dari pemilihan itu.

“Wahai penduduk ini adalah penentu nasib kalian semua. Istana Biru akan dipimpin oleh raja baru, dia adalah. . . Ra. Ja. a .a itu adalah H . . asan,”

Seluruh penduduk disana kebingungan, sebagian heran dengan hasil tersebut. Ada pula yang terbisu mendengar hasil itu. Kegalauan Hasan menghasilkan buah manis baginya. Bagaimana tidak, waktu yang lama menjadikan dirinya untuk menjadi raja akhirnya terwujud.

Related

Sriharti di Negeri Bukan Perawan

Hembusan angin senai-senai saat mentari menyengat Negeri Bengkulu,  sudah...

Malam Pembantaian Thomas Parr 1807 (Tamat)

Peran  Orang Dalam Tahun  kepemimpinan Residen Thomas Parr dianggap melakukan...

Malam Pembantaian Thomas Parr 1807 (Part 2)

Siapa Pelakunya “Pribumi tak berprikemanuasiaan, kejam dan sadis”. Itulah yang...

Malam Pembantaian Thomas Parr 1807 (Part 1-3 tulisan)

“Malam itu, sekelompok pribumi merangsek masuk Gedung Mount Felix...

Girik Cik: Matisuri Peradatan di Negeri Bukan Kukang

Tekad  anak negeri ingin “Adat Bersendi Sarak, Sarak Bersendikan...