kupasbengkulu.com – Sejarah mencatat, akibat dari kekeliruan menerjemahkan suatu pesan sebuah tragedi mengerikan terjadi. Tragedi pengeboman Hiroshima-Nagasaki pada perang dunia II sebagai bukti kegagalan dalam berkomunikasi yang menimbulkan dampak buruk.
Saat itu suatu pesan dikirim oleh pemerintah Jepang untuk menjawab ultimatum dari sekutu. Pesan tersebut berisi kata mokusatsu, oleh Domei diterjemahkan sebagai mengabaikan.
Terdapat versi lain lagi menyebutkan saat menerima pesan itu Jendral Mc Arthur memerintahkan staffnya untuk memeriksa kamus Jepang-Inggris. Dari seluruh kamus menyebutkan terjemahan dari mokusatsu adalah “no comment”.
Kemudian Jendral Mc Arthur melapor pada Presiden ASÂ Truman, dan diambillah keputusan mengebom atom Hiroshima-Nagasaki. Padahal, makna sesungguhnya dari mokusatsu adalah kami akan menaati perintah tuan tanpa komentar.
Kesalahapahaman yang terjadi merupakan salah satu bentuk gagalnya komunikasi yang dilakukan Jepang dan Sekutu. Seandainya Jepang memperjelas maksud dari pesannya atau seandainya pihak sekutu tidak salah dalam menerjemahkan kata maka tragedi Hirosima-Nagasaki tidak akan terjadi.
Catatan di atas dikutip dari Buku “Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar” karangan Dedy Mulyana. Bagi sarjana komunikasi cerita tersebut tentu kerap diketahui.
Ilmu Komunikasi dalam perkembangan selanjutnya meluas pada pers salah satunya. Pers diyakini berkontribusi besar bagi kemajuan sebuah komunitas. Pers yang sehat menentukan pembangunan yang sehat pula.
Acapkali pada perkembangan selanjutnya, pers dijadikan tameng dan senjata serang bagi kelompok tertentu. Ini ditengarai oleh “mahalnya” membangun pers dalam sebuah perusahaan media. Selaku kontrol, pers harus pula dikontrol oleh masyarakat, donasi publik pada sebuah media untuk tidak tergantung pada kepentingan penguasa/elite sudah layak dipertimbangan.
Pola komunikasi antarpemerintah dan rakyat tentu saja membutuhkan media/pers. Sudah tentu tak boleh ada intervensi penguasa di balik meja redaksi yang berakhir pada jumlah iklan. Demikian pers yang sehat.
Kemudian penguasa/pemerintah tentu saja memerlukan media sebagai saluran komunikasi pada masyarakat. Hubungan timbal-balik akan terjadi. Pers tetap dikukuhkan sebagai saluran utama, meski media sosial, jurnalisme warga kekinian mulai bertumbuhan. Sebuah perkembangan yang positif.
Sering kali terjadi kesalahan komunikasi yang terjadi antara pers, masyarakat (khalayak), dan pemerintah dalam sebuah “isi pesan”. Penting ditekankan bahwa isi pesan harus jelas, terukur, dan tidak manupulatif.
Hukuman terhadap pers yang tidak objektif saat ini mudah sekali diberikan oleh publik. Tentu saja profesionalisme, kesejahteraan karyawan, dan peningkatan sumberdaya menjadi tugas berat.
Publik semakin cerdas terhadap perkembangan pers dan media. Karya jurnalisitik yang baik dan berkualitas, tentu menjadi harapan bersama. Semoga karya tersebut semakin menginspirasi dan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Kritik masyarakat selalu ditunggu dengan tangan terbuka.
Redaksi