Jumat, April 19, 2024

“Kartini” Dan Tantangan Zaman; Melacak Kehidupan Perempuan dalam Ruang Kebangsaan

R.A. Kartini
R.A. Kartini

*Oleh: Medio Yulistio

Tepat tanggal 21 April 2014 bangsa Indonesia memperingati salah satu hari besar pahlawan nasional R.A Kartini. Hari besar tersebut diambil bertepatan pada tanggal dilahirkannya yaitu 21 April 1879. Raden Adjeng Kartini merupakan simbol pergerakan wanita nasional, dengan kegigihannya memperjuangkan emansipasi wanita untuk dapat perlakuan sama didalam ruang sosial, pendidikan dan budaya pada masa itu menjadikannya sebagai sosok pelopor kebangkitan kaum wanita di Indonesia, terutama pribumi.

Terlahir sebagai seorang putri dari keluarga kaya raya, ternyata tidak menutup hatinya untuk memperjuangkan nasib perempuan yang dikala itu dianggap sebagai penumpang kelas dua dalam struktur sosial.

Dengan latar belakang tersebut mendorong R.A Kartini untuk memajukan status wanita pribumi. Keinginannya tidak hanya semata hanya untuk memajukan strata atau drajat wanita, namun juga sangat berhubungan erat serta mendasar pada kehidupan sosial, perhatiannya adalah memperjuangkan hak wanita agar memiliki kebebasan, otonom dan juga perlakuan hukum yang sama dimasyarakat.

Selain membuat sekolah khusus untuk kaum perempuan, R.A Kartini juga menghasilkan karya-karya hasil dari buah pikirnya melalui tulisan, salah satu yang fenomenal adalah “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Kartini bukan hanya salah satu barisan panjang sejarah Indonesia. Kartini harus dimaknai sebagai sebuah semangat perjuangan dan pengorbanan, pemikiran dan karya yang telah dihasilkannya menjadikan tumbuhnya figur pahlawan pada sosok dirinya. Tanpa semua itu, Kartini ataupun lainnya bukanlah siapa-siapa.

Sebagai generasi yang bertanggung jawab pada nilai-nilai kemanusiaan bangsa ini, sudah seharusnya setiap manusia Indonesia memiliki peran dan tanggung jawab untuk melanjutkan setiap gagasan-gagasan para pahlawan dan pendahulu.

Tantangan tersebut harus dijawab melaui gagasan-gagasan besar yang mampu merekontruksi Indonesia pada jalan yang sebenar-benarnya dicita-citakan.
Ditengah kuatnya konsolidasi gerakan-gerakan perempuan mengangkat hak-haknya, ditengah maraknya isu feminisme dan kesetaraan gender, pada sisi lain perempuan masih saja menjadi objek kekerasan, seksual dan eksploitasi kemanusiaan.

Ruang kemerdekaan perempuan ternyata tetap berbanding lurus terhadap pengebiran kepada hak-hak perempuan itu sendiri. Alam demokrasi di Indonesia telah membuka ruang yang besar bagi perempuan Indonesia (baca: Politik dan Sosbud) tetapi kesempatan ini dianggap belum mampu dimaksimalkan oleh peran perempuan itu sendiri didalam wilayah dan entitas profesinya masing-masing.

Hal ini diperkuat oleh pernyataan Elvi Adriani (sekretaris wilayah koalisi perempuan Indonesia) mengapa dengan peluang yang terbuka kehidupan wanita masih ketinggalan, ini terjadi karena ada perbedaan mendasar perempuan dan laki-laki dalam peran fungsi, tanggung jawab serta prilaku.

Kesemuanya tersebut dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu dan kondisi setempat.

Penguatan Kapasitas Perempuan Menuju Eksistensi di ruang publik dan ruang domestik tentang hak-hak perempuan itu sendiri sudah sangat terbuka luas. Kartini sudah mampu merubah paradigma mendasar tentang peran-peran perempuan diruang sosial, hanya saja keterbukaan ruang-ruang sosial ini tidak diikuti oleh semangat penguatan kapasitas perempuan itu sendiri.

Sebagai contoh, bagaimana pemerintah membuat kebijakan politik tentang kuota perempuan sebesar 30% di parlemen, benar secara “simbolik” perempuan-perempuan yang terpilih sebagai keterwakilan rakyat sudah duduk dan beraktifitas di lembaga legislatif.

Tapi kemudian timbul lagi persoalan baru, dengan porsi yang besar dan dipayungi undang-undang apakah perempuan sudah mampu mengoptimalkan kehidupan perempuan melalui kebijakan-kebijakan lainnya yang menjurus pada hak-hak perempuan itu sendiri.

Dari kasus tersebut, dapat kita telaah persoalan yang mendasar bahwa dalam setiap kebijakan ataupun keterbukaan ruang sosial dan domestik perempuan tidak dimulai dari menyiapkan manusia-manusia sebagai subjek penggerak kebijakan tersebut.

Jadi sah dan wajar saja perempuan yang masuk dilembaga legislatif tetap menjadi “perempuan”. Artinya, negara pada posisi utama pihak yang bertanggung jawab untuk menguatkan perempuan Indonesia.

Seperti apa yang disampaikan oleh Ruth Indah Rahayu tentang apabila fantasi di dalam historiografi indonesia-androcentris itu dapat di analisis dari ketidak adilan terhadap perempuan, maka terlihatlah unsur-unsur yang salah satunya adalah menampilkan perempuan sebagai representasi dan bukan partisipasi dari berbagai peristiwa dinegeri ini, sehingga tokoh perempuan bagai “sekuntum bunga” yang disematkan pada saku jas tokoh laki-laki pencipta sejarah.

Mereka bukan dianggap menciptakan sejarah perempuannya melainkan sebuah kebetulan yang menyimpang dalam sejarah dan karena itu mereka ditulis dalam diskursif “istimewa”.

Perempuan Dan Tantangan Globalisasi

Globalisasi melahirkan tantangan-tantangan sendiri terhadap perempuan, baik dalam lingkungan domestik maupun Internasional. Selain harus menyiapkan diri perempuan menjadi manusia yang profesional, perempuan Indonesia harus mampu membongkar paradigma lama dan tidak relevan menjadi paradigma baru, yaitu paradigma ganda.

Paradigma ganda ini dimaksudkan adalah perempuan mampu memaksimalkan perjuangan serta hak-haknya, tapi disisi lain tetap berpegang pada tanggung jawab budaya, sosial serta keagamaan. Membangun perempuan Indonesia yang tetap berpegang pada peran feminisme tetapi tetap pula bersandar pada nilai-nilai yang masih menjadi tuntutan dalam kehidupan sosial.

Dalam mewujudkannya salah satu cara yang dapat dilakukan melalui “equality in deversity”, yaitu keseimbangan antara peran feminisme itu sendiri tanpa motif materialitas (baca: semangat memperjuangkan yang berlandaskan moralitas).

Dalam membentuk perempuan Indonesia yang tangguh, berangkat dari setiap persoalan yang ada maka harus ada rumusan khusus sebagai “pil” yang mampu mengobati serta mengisi kekosongan dari realita kehidupan perempuan Indonesia.

Diskursus tentang membangun kembali perempuan-perempuan yang sadar politik harus menjadi titik awal pembangunan Indonesia. Proses ini bisa terjadi apabila para srikandi Kartini-Kartini baru memulai langkah-langkah visioner untuk menguatkan posisi perempuan dalam dinamika kebangsaan.

Reformasi pendidikan (baca: formal,  informal) menuju penguatan kapasitas perempuan harus dibangun secara mendasar dan substansial. Berbicara persoalan perempuan tentu berbicara faktor dari dalam dan faktor dari luar perempuan tersebut.

Maka ini dimulai dengan pendidikan kritis perempuan menuju generasi tanguh dan mandiri, baik berbicara kebutuhan perempuan dan segala perangkatnya maupun “keistimewaan” perempuan didalam ruang publik.

Cara Pandang Negara Terhadap Batas Hak dan Kewajiban Perempuan

Selain berbicara mengenai hak-hak dan kewajiban perempuan secara luas, ada keragu-raguan terhadap pemahaman pada batasan-batasan yang menjadi pemahaman bersama.

Berbicara perempuan memiliki indikator yang berbeda-beda dari setiap sudut pandang; agama, sosial dan budaya maupun infiltrasi dari pengaruh-pengaruh peradaban luar. Disinilah pula tugas pemerintah untuk menegasikan dari setiap indikator masing-masing landasan yang digunakan. Pemahaman yang berbeda sangat rentan terhadap “conflict interest” dari masing-masing penganut “paham” yang berbeda.

Misalnya, sebuah negara harus dibangun atas landasan ideologis negara tersebut. Negara Indonesia yang berbasis ideologi Pancasila pada hakikatnya harus mengacu pada “pluralisme” pada setiap pendekatan yang dilakukan pada setiap sumber daya manusia.

Apabila platform pembangunan utama sumber daya manusianya, maka baik langsung maupun tidak langsung akan terbentuk kesadaran bahwa kaum perempuan adalah segmen penting kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pembangunan yang sejati dalam skala yang komprehensif tidak mungkin akan terlaksana jika terjadi salah persepsi terhadap persoalan seputar perempuan. Kaum perempuan sendiri juga harus mengetahui semangat Pancasila yang menjabarkan peran serta kewajibannya, agar nantinya mereka dapat membela hak mereka sepenuhnya berdasarkan nilai filosofis Ke-Indonesiaan, sebagaimana semua anggota masyarakat negara Indonesia harus mengetahui pandangan dasar negara tentang perempuan dan kiprahnya di semua lini kehidupan, termasuk pendidikan, keprofesian, aktivitas sosial, politik dan ekonomi atau kehidupan di dalam maupun di luar rumah tangga.

Perempuan harus dipandang sebagai manusia yang bermartabat supaya terlihat bagaimana kesempurnaan perempuan serta apa hak dan kebebasannya. Perempuan harus dipandang sebagai entitas yang dapat menjadi aset bagi kemaslahatan masyarakat melalui proses pembinaan manusia-manusia luhur, supaya terlihat apa hak perempuan dan bagaimana kebebasannya.

Perempuan harus dipandang sebagai elemen dasar rumah tangga yang meskipun eksistensinya sama-sama dibentuk dan diperani oleh laki-laki dan perempuan tetapi ketenangan dan ketentramannya sangat bergantung pada peran dan bawaan alamiah perempuan.

Perempuan harus dipotret dengan lensa demikian agar terlihat bagaimana perempuan dapat menemukan kesempurnaannya dan dimana hak-haknya berada.
Jadi untuk menjadi Kartini “kontemporer” yang utama harus dimiliki adalah semangat visioner, semangat ini harus di aktualisasikan dengan lompatan pemikiran dan kesiapan jauh kepada tantangan untuk masa yang akan datang.

*Penulis Adalah: Ketua Umum HMI Cabang Bengkulu Periode 2010-2011

Related

Penyanyi Asal Indonesia Berhasil Luluhkan Empat Juri Americans Got Talent

Kupas News – Kisah seorang penyanyi penyandang disabilitas asal...

Peran Perempuan dalam Memerangi Radikalisme dan Terorisme

Kupas News, Bengkulu - Peran perempuan sangat besar dalam menangkal...

Tas Michael Kors, Brand Eksklusif Paling Diminati Pecinta Fashion

Kupas News – Michael kors merupakan salah satu pelopor...

Retno Pecahkan Rekor Perempuan Pertama Rektor Unib Terpilih

Kupas News - Universitas Negeri Bengkulu (Unib) baru saja...