Selasa, April 16, 2024

Teringat Frankenstein

150px-Frankenstein.1831.inside-cover

Cerpen: Benny Hakim Benardie

Siang itu usai gempa 5.9 skala richter menguncang Kota Bengkulu, suasana kota cukup lengang, masyarakat kuatir guncangan gempa susulan.

Gempa tentunya bukan momok yang baru bagi masyarakat Bengkulu yang terbiasa dihantam gempa lokal hingga ‘jungkir balik’ warga dan rumah penduduknya.

Menghela nafas Beno melihat tetangga sebelah rumahnya sibuk memperbaiki tiang rumahnya yang retak akibat gempa setengah jam yang lalu.

“Ditopang aja kak, biar nggak meletot lagi”.

“Iya nih, harus dibuat benton baru aja, rusaknya dah parah,” kata Kak Wandi, mantan pemabuk yang katanya dah tobat akibat kena gejala liver.

Tak membalas, Beno hanya tersenyum, tampak simpul pipit dari pipi kirinya. Dengan ditemani segelas kopi dan rokok daun nipah, lamunan Beno kian jauh kemasa lalunya, saat masih aktif sebagai aktifi dan gagal dalam menyelesaikan kuliahnya.

Segelas kopi dan sebatang rokok daun nipah, mengingatkan Beno cerita dosen filsafatnya saat masih duduk di bangku kuliah di Pulau Jawa tahun 1993 lalu.

Cerita Dr Syaitan….Ya itu Frankenstein, kenapa aku ingat kisah itu ya,” lamun Beno.

Menurut Sang dosen filsafat, Frankenstein atau The Modern Prometheus merupakan cerita yang menarik dan banyak pelajaran yang dapat dipetik dari novel gothik karya penulis Mary Wollstonecraft Shelley kebangsaan Inggris tahun 1818.

Frankenstein berkisah tentang Victor, seorang ilmuwan Swiss, yang lahir di Jenewa dan dibesarkan orang tuanya untuk memahami dunia lewat ilmu pengetahuan.

Ketika kanak-kanak, ia melihat petir menyambar pohon, lalu bertanya-tanya itukah sumber kehidupan? Apakah manusia dapat menciptakan manusia lain?

monterkalo

Teringat

Beno sempat teringkat dengan secarik kertas peninggalan kakeknya, saat Bung Karno, Hasanoedin Sabri dan teman lainnya memainkan cerita Dr Syaitan ini dalam sebuah kelompok bernama Tooneel Club Monte Carlo, yang mempunyai semboyan “Selamanja Naik, Djangan Toeroen”. Kala itu bulan Desember Malam Rabu tahun 1939.

Frankenstein kala itu mencoba, menirukan ciptaan terbesar Tuhan. Ia membuat monster dari serpihan dan potongan orang mati. Serpihan dan potongan tubuh itu disatukan dengan cara dijahit bersama, dan dihidupkan lagi menggunakan listrik dari petir.

Baru sejenak mengingat cerita dosennya kala itu. bulu romanya tampak berdiri. Namun kenangan itu tetap mendewsaknya untik mengingat kisah itu, disaat ini dirinya hidup sebatang kara. Memang Beno tak ada beban, tapi hidup harus dijalaninya hingga ajal menjelang.

Kopi hitampun kembali dihirup, dan tampak ia mulai melintimng kembali rokoknya yang telah habis. Sementara tetangga sebelah rumahnya sibuk memukul paku, memperbaiki rumahnya yang usai digoyang gempa bumi.

Lamunanpun Beno terus berlanjut. Dalam cerita itu, Frankenstein berhasil menghidupkan eksperimennya dalam percobaan ilmiah ortodoks. Ternyata, Mary Wollstonecraft Shelley, penulis Novel fiksi ilmiah itu jelas Sang dosen, menulis cerita berawal dari mimpi tentang Ilmuan gila itu.

Terakhir, Victor Frankenstein, mulai jauh fikirannya, dan celakanya ia menyebut diri sebagai “Adam dari pekerjaan Anda”, dan di tempat lain sebagai seseorang yang “akan” menjadi “Adam Anda”, tetapi bukan “malaikat Anda”.

Tersentak Beno, saat kumandang suara adzan dari Masjid dibelakang rumahnya mengalun melintas beranda rumahnya. Namun suara itu sempat disingkirkannya, karena pikirannya masih teringkat cerita Sang Dosen Filsafatnya dulu.
Timbul pertanyan yang ada dalam pikirannya, kenapa sang penulis Mary Wollstonecraft Shelley sampai bisa bermimpi segila itu? Mungkinkah karena ia berkhayal bebas tampa terikat sebelum tidur?

“Kalau hanya gara-gara lengannya tertindih dan ia bermimpi, rasanya tidak separah itu? Tapi kenapa pula aku resah setelah mengingat cerita itu ya!”

Suara Adzanpun berlalu tanpa terasa. Suara gaduh tetanggapun tak terdengar lagi, kecuali hilir mudir kendaraan masyarakat yang ingin beraktifitas.

Beno memaksakan dirinya unhtuk berdiri dari beranda rumah menuju dapur. namun tak satupun makanan yang dapat dimakannya. Sementara cacing diperut sudah berbunyi dengan irama yang tak merdu.

“Wah gawat ini. Mau ngutang kewarung, yang kemarin aja belum bayar. Giman ini….Gimana ini,” Beno ngedumel sendirian.

Kebingunan Beno kian menjadi, saat melihat tumpukan uang kerta mainan anak-anak yang ketinggalan dihalaman rumahnya. matanya terus menatap uang mainan tersebut. Iapun tersenyum sipu.

“Berubah-berubah……Semsalabim,” katanya berbisik-bisik.

Penulis dan Jurnalis

Related

Pemda Kaur Gelar Apel Usai Libur Idulfitri 1445 H, Ini Pesan Bupati Lismidianto

Pemda Kaur Gelar Apel Usai Libur Idulfitri 1445 H,...

Pemkab Lebong Ambil Langkah Proaktif Atasi Bencana Banjir Bandang

Pemkab Lebong Ambil Langkah Proaktif Atasi Bencana Banjir Bandang ...

Gubernur Rohidin Beberkan Langkah Strategis di Akhir Masa Jabatannya

Gubernur Rohidin Beberkan Langkah Strategis di Akhir Masa Jabatannya ...

Banjir Bandang Landa Kabupaten Lebong, Terparah Sejak Tahun 1995

Banjir Bandang Landa Kabupaten Lebong, Terparah Sejak Tahun 1995 ...

Dua Objek Wisata Air di Seluma Jadi Favorit Wisatawan Selama Libur Lebaran

Dua Objek Wisata Air di Seluma Jadi Favorit Wisatawan...