Kamis, Maret 28, 2024

Mengorek Peran WTO dalam Meruntuhkan Kedaulatan Negara

Logo WTO
Logo WTO

Oleh : Dina Y. Sulaeman

Pendahuluan: Bunuh Diri Para Petani

Dalam sidang WTO di Cancun (Meksiko), 9 September 2003, seorang petani dari Korea Selatan, Lee Kyung Hae, melakukan aksi bunuh diri di depan gedung tempat berlangsungnya sidang. Saat itu dia menggunakan pakaian bertuliskan “WTO Membunuh Para Petani”. Lee adalah seorang petani padi yang memiliki lahan luas di Korsel, namun kemudian bangkrut karena negaranya dibanjiri oleh beras impor yang harganya jauh lebih murah.

Lee memperjuangkan nasib petani di negaranya dengan berbagai cara, namun gagal. Sejak Korsel mematuhi aturan liberalisasi perdagangan, jumlah petani di negara itu telah berkurang setengahnya (dari sekitar 6 juta menjadi sekitar 3 juta petani). Padahal, Korsel adalah negara agraris, persis Indonesia. Perjuangan Lee berakhir dengan aksi bunuh diri di Cancun.[1]

Di India, pada tanggal 3 September 2009 lebih dari 50 ribu petani dari berbagai penjuru India berkumpul di New Delhi dengan membawa poster bertuliskan “WTO keluar dari pertanian”. Mereka memrotes Pemerintah India yang tidak melindungi petani lokal. Karena terikat perjanjian WTO, India hanya bisa melindungi 5 persen dari produk pertaniannya dari pemotongan tarif. Akibatnya, produk lokal India kalah bersaing dari produk pangan bersubsidi dari AS dan Uni Eropa.

Selain itu, WTO juga membuka peluang bagi perusahaan transnasional untuk membuka lahan pertanian di India. Industrialisasi pertanian, penggunaan bahan kimia, dan penghancuran lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan agribisnis yang dimiliki AS sangat merugikan petani India.

Jutaan petani India kehilangan mata pencaharian dan menjadi semakin miskin. Sejak tahun 1995 hingga kini, tercatat lebih dari 36 ribu petani di India melakukan bunuh diri karena tak sanggup lagi menahan kemiskinan.

Sementara itu, di Indonesia, dampak WTO sudah sangat terasa. Indonesia sejak tahun 1994 telah menjadi anggota WTO dan diratifikasi dengan UU no. 7 tahun 1994. Namun, meskipun WTO mengklaim bahwa tujuan organisasi ini adalah “to improve the welfare of the peoples of the member countries” kenyataannya, 15 tahun setelah begabung dengan WTO, Indonesia semakin lama justru semakin bergantung pada produk pangan impor.

Negeri yang subur serta memiliki curah hujan tinggi dan banyak sumber daya manusia ini, setiap tahunnya harus menganggarkan dana sebesar 50 trilyun rupiah untuk mengimpor kedelai, gandum, daging sapi, susu, gula,  bahkan garam. Nilai impor garam Indonesia per tahunnya mencapai 900 milyar rupiah.[4] Metro News (30/6/09) memberitakan bahwa sebagian besar pelaku bunuh diri di Bali adalah petani.[5]

Saat ini, sekelompok kecil orang ternyata lebih kaya dari seluruh orang di benua Afrika. Hanya dengan memiliki 200 perusahaan, ¼ perekonomian dunia sudah dapat dikuasai para pemodal. General Motors memiliki kekayaan yang lebih besar dari Denmark, Ford lebih kaya daripada Afrika Selatan.

Perusahaan-perusahaan kaya itu dipuji karena menanamkan investasi di negara-negara berkembang. Padahal yang terjadi, semua produk bermerek dibuat di negara-negara miskin dengan upah buruh yang sangat rendah, nyaris seperti budak. Seperti dikatakan John Pilger, “Yang miskin semakin miskin sementara yang kaya semakin kaya luar biasa.”

Globalisasi dan Liberalisasi

Apakah yang menjadi sumber segala kesengsaraan masyarakat Dunia Ketiga? Jawabnya, menurut penulis, adalah globalisasi yang berorientasi liberalisme. Banyak pendukung globalisasi yang ‘memuji’ globalisasi dengan alasan idealis, misalnya, “Dengan globalisasi tak ada lagi sekat-sekat antarnegara dan antarras. Suatu bangsa tidak mungkin lagi mengatasi berbagai persoalan hidupnya sendirian, perlu dilakukan kerjasama antarabangsa dunia. Dengan globalisasi, negara-negara kaya akan mendapat peluang untuk menolong negara-negara miskin, dengan cara mengalirkan modal dan investasi.”

Namun, para pendukung globalisasi itu melupakan ideologi dasar dari proses globalisasi yang saat ini berlangsung, yaitu liberalisme. Filosofi dasar dari liberalisme adalah kebebasan. Dalam pandangan liberalisme, society dibentuk oleh sebuah proses yang harus berlangsung secara bebas, tanpa boleh ada intervensi dari siapapun.

Proses itu harus melibatkan semua anggota masyarakat. Konkritnya, pembentukan sebuah pemerintahan harus melalui proses yang tanpa intervensi ini, yaitu demokrasi, melalui pemilihan umum secara bebas. Pembentukan undang-undang juga harus dilakukan melalui proses bebas ini. Tak boleh ada intervensi, misalnya aturan agama.

Ketika ideologi liberalisme ini kemudian diterapkan dalam ekonomi, maka hasilnya adalah ekonomi pasar: biarkan semua pelaku pasar berproses tanpa intervensi darimanapun, maka pasar akan menemukan sendiri mekanismenya dan kemakmuran akan diraih oleh semua pihak yang ikut berinteraksi dalam pasar. Asumsi ekonomi liberal adalah pasar bebas dan pergerakan bebas modal akan menjamin investasi akan mengalir ke tempat yang paling menguntungkan.

Perdagangan bebas akan memberi kesempatan kepada negara-negara untuk meraih keuntungan dari kelebihan komparatif mereka, misalnya negara penghasil batu bara akan meraih keuntungan dengan menjual batu bara kepada negara yang tak punya batu bara; negara penghasil beras akan meraih keuntungan dengan menjual beras kepada negara yang kekurangan beras.

Ideologi liberalisme kemudian berkembang lagi menjadi bentuk yang lebih ekstrim, yaitu  neoliberalisme. Neoliberal memiliki karakteristik utama ingin memperluas pasar dengan cara meningkatkan dan memformalisasi berbagai transaksi ekonomi. Tak heran bila para pemilik modal melakukan ekspansi besar-besaran, mulai dari toko kelontong yang buka cabang di berbagai negara (Walmart, Circle K, dll), hingga perusahaan penanaman jagung dan padi.

Bila dalam liberalisme, para pelaku ekonomi cenderung menguasai properti, dalam neoliberalisme, yang dikuasai adalah modal sehingga mereka lebih leluasa memindahkan modalnya kemanapun yang lebih menguntungkan. Ngaire Woods menyebutnya, footloose modern bussiness, dimana pemodal dengan mudah keluar dari sebuah negara bila pemerintah negara itu tidak memberlakukan kebijakan liberal yang menguntungkan mereka.

Hari ini pemodal bisa buka pabrik di negara A, namun bila esok hari negara B yang menawarkan upah buruh lebih rendah, dia akan menutup pabrik di A dan buka pabrik di negara B. Sama sekali tidak dipedulikan bagaimana nasib para buruh yang secara mendadak menjadi penganggur.

Bahkan, untuk menghindarkan diri dari kewajiban UU Tenaga Kerja, para pemilik modal memberlakukan sistem outsourcing dan sistem kontrak. Misalnya, untuk tenaga kebersihan, perusahaan A tidak langsung mempekerjakan pegawai, melainkan memakai jasa perusahaan kebersihan. Perusahaan kebersihan ini yang merekrut pegawai untuk kemudian bekerja di perusahaan A. Para pegawai itu mendapat gaji dari perusahaan kebersihan, bukan dari perusahaan A. Perusahaan kebersihan pun umumnya menggunakan sistem kontrak, per-3 bulan, atau bahkan per bulan, sehingga si pegawai sewaktu-waktu bisa kehilangan pekerjaan tanpa mendapat pesangon. Sistem ini tak lebih dari perbudakan abad modern.

Krisis finansial di Asia tahun 1998, adalah contoh nyata betapa sistem ekonomi yang berbasis liberalisme ini telah menyengsarakan sangat banyak orang dan menguntungkan segelintir orang.

Ekonomi liberalisme mengizinkan pemilikan modal di tangan segelintir orang. Segelintir orang ini tidak peduli dengan nasib bangsa-bangsa, yang dipedulikannya adalah keuntungannya sendiri, Karena itu, ketika dilihatnya pasar Asia tidak menguntungkan, merekapun menarik modal secara besar-besaran dan mengalihkannya ke negara-negara lain. Akibatnya dalam sekejab, perekonomian Asia (terutama Indonesia, Thailand, dan Korea Selatan) lumpuh dan jutaan orang mendadak miskin karena khilangan pekerjaan.

3 Pilar Globalisasi: IMF, World Bank, WTO

Pertanyaan selanjutnya, lalu mengapa  negara-negara berkembang membiarkan perekonomiannya dipegang oleh segelintir pemodal asing yang sewaktu-waktu bisa menarik modalnya dan meninggalkan jutaan pengangguran dan kemiskinan? Jawabannya adalah karena tekanan dari IMF, Bank Dunia, dan WTO.

Joseph Stiglitz menyebutkan bahwa cita-cita ideal globalisasi umumnya diterima oleh masyarakat dunia, namun ketika kini dunia menyaksikan bahwa ‘janji’ globalisasi tak tercapai, maka yang perlu diteliti adalah ketiga institusi yang mengatur (govern) globalisasi: IMF, World Bank, dan WTO.

IMF semula didirikan untuk menjamin stabilitas ekonomi global dan menyediakan dana pinjaman untuk negara-negara yang mengalami penurunan ekonomi supaya negara-negara tersebut bisa memulihkan kembali perekonomiannya. Sementara itu, Bank Dunia diniatkan untuk membantu negara-negara dalam membangun infrastruktur seperti jalan, bendungan, dll. Diharapkan, bila berbagai sarana publik telah dibangun, kemiskinan bisa tereliminasi. Namun, sejak tahun 1980-an, IMF dan WB berubah secara drastis menjadi institusi yang memimpin proses liberalisasi ekonomi di dunia. IMF baru mengucurkan dana pinjaman bila suatu negara telah melaksanakan syarat-syarat yang ditetapkan IMF: mencabut subsidi, meningkatkan pajak, liberalisasi pasar, dan meningkatkan suku bunga.

Sementara itu, WB baru mau mengucurkan pinjaman bila sudah mendapatkan persetujuan IMF. Dengan kata lain, IMF dan WB mengulurkan bantuan kepada negara-negara yang sedang terpuruk ekonominya, misalnya Indonesia, tapi mengajukan sejumlah syarat dan syarat itu ujung-ujungnya hanya menguntungkan negara-negara pemegang saham terbesar di IMF dan WB (yaitu negara-negara industri maju).

Bukti dari pernyataan di atas bisa terlihat jelas dalam perjanjian-perjanjian WTO. Liberalisasi perdagangan sebagaimana yang diperintahkan oleh IMF,  mau tak mau membuat negara-negara berkembang bergabung dalam WTO. Semula, WTO didirikan untuk mengatur perdagangan dunia dengan tujuan yang mulia: agar perdagangan berjalan lancar sehingga barang dan jasa bisa tersebar merata ke seluruh dunia. Namun kenyataannya, perjanjian-perjanjian yang diatur oleh WTO sangat merugikan negara berkembang dan menguntung negara maju.

Perjanjian internasional yang dibuat dalam kerangka WTO mengikat seluruh anggotanya; jumlahnya lebih dari 11 jenis perjanjian. Tiga di antaranya adalah:

1. Perjanjian Pertanian (AOA, Agreement on Agriculture).

Melalui AOA, WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk membuka pasar domestik untuk barang-barang impor dan sebaliknya, negara-negara anggota juga berhak melakukan ekspor ke negara manapun. Secara garis besar, ada tiga bidang yang diatur oleh AOA, yaitu:

Market Acces (akses pasar): mewajibkan negara-negara menurunkan tarif dasar impor pertanian.

Domestic Support (dukungan domestik): mewajibkan dibatasinya subsidi dan proteksi pemerintah terhadap sektor pertanian dalam negeri.

Export Subsidy (subsidi ekspor): mewajibakan dibatasi atau bahkan dihapuskannya subsidi ekspor produk pertanian.[10]

Dua eksportir utama pertanian dunia, yakni AS dan Uni Eropa sangat diuntungkan oleh perjanjian seperti ini. Karena tarif dasar impor diturunkan, mereka bisa menjual produk mereka dengan harga murah di negara-negara berkembang. Sebelum adanya aturan AOA, umumnya produk impor dikenai pajak tinggi, sehingga harganya lebih tinggi dari produk dalam negeri. Dengan demikian, konsumen harus memilih: membeli produk impor yang berharga mahal namun berkualitas tinggi, atau produk lokal dengan harga murah meski kualitasnya tak sebagus produk impor.

Namun, adanya penurunan tarif impor membuat harga barang impor seringkali malah lebih murah dari produk lokal. Akibatnya, produsen pertanian dalam negeri mengalami kerugian dan kemunduran.

Selain itu, larangan subsidi dan proteksi terhadap pertanian membuat para petani menjadi rentan. Harga produk mereka fluktuatif, ketersediaan benih dan pupuk juga tidak terjamin dan harganya tidak stabil.

Petani negara berkembang juga tidak mendapatkan subsidi ekspor sehingga jika mereka mengekspor produk, harganya akan mahal sehingga sulit bersaing dengan produk dari AS atau Uni Eropa. Apalagi, petani-petani lokal di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, umumnya miskin, memiliki lahan yang sempit, tidak terorganisasi, dan lemah.

Sebaliknya, AS dan Uni Eropa justru melakukan pelanggaran terhadap AOA dengan tetap mensubsidi petani. Selain itu, mereka juga memiliki teknologi pertanian yang maju, modal yang besar, dan struktur organisasi yang kuat. Karena itulah mereka berhasil membanjiri negara-negara berkembang dengan produk-produk pertanian mereka, yang harganya lebih murah dari produk lokal. Dalam perjanjian AOA, kedua kelompok petani yang  jelas-jelas beda level ini disuruh untuk berkompetisi di pasar bebas. Ketidakadilan ini sudah pasti akan membawa kekalahan bagi petani lokal.

2. Perjanjian Hak Kekayaan Intelektual (TRIPs, Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights)

Perjanjian TRIPs mewajibkan negara-negara anggota WTO untuk menghormati hak karya cipta intelektual (HAKI). TRIPs berlandaskan pada perjanjian-perjanjian internasional yang telah dibuat sebelumnya, yaitu:

a. Konvensi Paris (1967) mengenai Perlindungan tentang Kekayaan Industri

b. Konvensi Berne (1971) tentang Perlindungan Terhadap Karya Tulis dan Seni

c. Konvensi Roma (1971) tentang Perlindungan terhadap Pelaku Pertunjukkan, Produsen Rekaman Musik dan Organisasi Siaran,

d. Konvensi/Traktat Washington (1989) tentang perlindungan Rangkaian Elektronik Terpadu. [12]

Secara sekilas, memang TRIPs terlihat adil. Biar bagaimana pun, banyak perusahaan yang telah mengeluarkan biaya besar untuk melakukan inovasi dan pengembangan produk. Oleh karenanya, perlindungan hukum perlu diberikan kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Namun, bagi negara berkembang, dampak dari TRIPs justru sangat buruk. Sebagai contoh kasus, pada tahun 2004-206 diberitakan belasan petani Kediri diajukan ke pengadilan oleh PT BISI yang mayoritas sahamnya dikuasai konglomerat asing. Kesalahan para petani itu adalah menanam jagung dengan benih produksi PT BISI dan selanjutnya memperbanyak benih itu tanpa izin.[13]

Padahal, secara tradisional petani biasa menyimpan sebagian hasil panen sebagai benih untuk musim tanam berikutnya. Namun, TRIPs mengharuskan petani membayar royalti bila mereka menyimpan bibit di lahan sendiri. TRIPs memberikan hak monopoli kepada perusahaan produsen benih untuk mematenkan benih mereka dan karenanya tindakan para petani yang melakukan penyimpanan benih dan menanam benih itu dianggap sebagai tindakan kriminal.[14] Akibatnya, para petani kecil menjadi korban perusahaan-perusahaan besar yang melakukan praktek monopoli benih, pupuk, dan hak tanam terhadap suatu jenis tanaman pangan tertentu yang mereka klaim sebagai hasil temuan mereka dan mereka daftarkan hak patennya.

Dampak TRIPs juga dirasakan negara-negara berkembang di bidang medis dan teknologi. Keharusan menghormati hak paten membuat negara-negara berkembang dilarang memproduksi obat-obatan atau teknologi yang sudah diklaim hak patennya oleh negara-negara maju. Sebagai contoh, dalam kasus flu burung yang menjadi endemik akhir-akhir ini, negara-negara berkembang harus mengimpor obat-obatan dari negara maju dengan harga sangat mahal. Mereka tidak diizinkan memperbanyak sendiri obat-obatan itu. Akibatnya, negara-negara berkembang menjadi sangat bergantung kepada pihak asing.

3. Perjanjian Tekstil (ATC, Agreement on Textile and Clothing)

Salah satu isi perjanjian ATC adalah penghapusan kuota ekspor tekstil. Sebelumnya, negara-negara dunia terikat dalam perjanjian MFA (Multi Fiber Arrangement) tahun 1974, yang memberikan batasan kuota ekspor. Sebagai contoh, AS hanya boleh mengimpor kain dari India dalam jumlah/kuota tertentu yang sudah disepakati. Bila AS membutuhkan kain lebih banyak lagi, AS harus membelinya dari negara lain yang masih memiliki kuota. Dengan demikian, ada semacam jaminan pasar bagi negara-negara produsen tekstil. Namun, melalui ATC, disepakati bahwa mulai tahun 2005 sistem kuota dihapuskan.

Pasar utama industri tekstil dunia adalah AS dan Uni Eropa. Penghapusan kuota akan memberi mereka akan keleluasaan memilih negara produsen tekstil, sehingga produsen tekstil yang kebanyakan adalah negara berkembang menjadi sangat rentan tekanan. AS dan Uni Eropa kini memberlakukan aturan-aturan khusus yang menjadi syarat bagi negara berkembang yang ingin mengekspor tekstil ke sana. Misalnya, UE mensyaratkan negara berkembang yang ingin mendapat kemudahan ekspor tekstil untuk meratifikasi 27 konvensi internasional di bidang perburuhan dan hak asasi manusia dan paling sedikit 7 dari 11 konvensi internasional di bidang lingkungan hidup.

Hanya sebagian negara yang sudah sangat kuat industri tekstilnya dan kuat dari sisi kemampuan negosiasi bilateral, seperti India dan China, yang bisa memanfaatkan perjanjian ATC. Sebaliknya, ATC membawa dampak buruk bagi kebanyakan negara berkembang produsen tekstil, antara lain Indonesia dan negara-negara Amerika Latin. Padahal, bagi Indonesia industri tekstile adalah sektor yang sangat banyak menyerap tenaga kerja sehingga menjadi salah satu tulang punggung perekonomian rakyat. Dengan berkurangnya ekspor tekstil, telah terjadi PHK besar-besaran di pabrik-pabrik.

Inilah yang disebut Stiglitz,  negara-negara berkembang dan miskin bagaikan kapal layar kecil yang langsung disuruh berlayar di lautan buas, padahal lubang-lubang di kapal itu belum ditambal, kaptennya belum di-training, dan pelampung/alat pengaman belum dipasang di  kapal kecil itu. IMF, WB, dan WTO telah memaksa negara-negara berkembang untuk bertempur dalam pasar bebas padahal sebenarnya mereka belum siap.

Penutup

Globalisasi adalah sebuah keniscayaan. Mudahnya transportasi dan komunikasi, perdagangan internasional, penyebaran teknologi maju, dan pertukaran budaya antarbangsa, membuat dunia semakin mengecil. Namun, ada dampak negative globalisasi yang membuat negara-negara  berkembang menjadi semakin miskin: yaitu dominasi tiga pilar globalisasi, IMF, Bank Dunia, dan WTO. Ketiga institusi itu telah memaksa negara-negara berkembang untuk menerapkan liberalisasi ekonomi dan  mengabaikan prinsip “proteksi”. Padahal, negara-negara industri maju, sebelum terjun ke pasar bebas telah memberlakukan berbagai proteksi demi memperkuat perekonomian mereka. Bahkan  di saat yang sama ketika negara-negara berkembang dilarang melakukan proteksi, negara-negara maju tetap melakukan proteksi terhadap produksi dalam negeri. Hal ini membuat jurang kekayaan semakin besar, segelintir orang menguasai kekayaan dunia, sementara milyaran orang hidup dalam kemiskinan.

Sumber: http://dinasulaeman.wordpress.com/2010/05/10/kejamnya-liberalisme-ekonomi/

Related

Elisa Sebut Kemenangan Dirinya Bukan Milik Sendiri, Tapi Bersama

Kupas News - Calon DPD RI Dapil Provinsi Bengkulu...

Elisa Ermasari Raih Kemenangan Telak di Setiap TPS

Kupas News - Dalam pemilihan umum yang berlangsung serentak...

Elisa Ajak Masyarakat Bengkulu Gunakan Hak Pilih 14 Februari 2024

Kupas News - Elisa Ermasari, calon anggota Dewan Perwakilan...

Janji Elisa untuk Bengkulu Sejahtera dan Bermartabat

Kupas News - Calon DPD RI Dapil Bengkulu nomor...

Generasi Milenial Dukung Penuh Kemenangan Elisa Ermasari

Kupas News – Dalam suasana politik yang semakin dinamis,...