Ada pertanyaan mengelitik logika kita. Itu berangkat dari pertanyaan, “Mungkinkah Provinsi Bengkulu sejahtera, makmur, kalau Negara Indonesia itu sendiri belum dapat mewujudkannya?”
Ini tentu ada korelasinya dengan pemikiran kita, tentang sesorang dikatakan ‘hebat’, sukses, membangun daerah yang dipimpinnya, sementara program-programnya merupakan turunan dari pemerintah pusat?
Termasuk logiskah kalau kota, kabupaten di Bengkulu dilakukan studi banding ke Kota Jakarta, Bandung, Surabaya atau ke Aceh misalnya?
Jawaban seorang pelaku atau pengurus negeri mengatakan itu logis dan bisa sangat rasional. Ini hampir mirip komentarnya masyarakat pemanut. “Terserahlah,” katanya.
Rasionaisasi diterapkan di provinsi miskin, meskipun katanya sumber daya alamnya punya potensi. Itu mulai akan digiatkan, hingga sepuluh tahun kedepan. Kalau begitu cara beretorika dan berlogika, dapat dipastikan eksen dari program yang di gaungkan, tidak akan mencapai rasa kepuasan masyarakat banyak. Peryataan itu akan berulang atas nama pribadi dan politik.
Kalau itu yang terjadi, apa bedanya dengan pertanyaan, “Kenapa kita mendukung calon gubernur, bupati atau walikota tanpa mendapatkan hasil signifikan bagi diri kita?
Realitas yang ada, mendukung seseorang ingin menjadi gubernur, bupati atau walikota, merupakan upaya kita untuk menjadikan orang yang kita usung itu menjadi kaya, makmur atau lebih kaya lagi. Nah kita yang mendukung? Makan kuah kah?
Cara berfikir, pembuka fikiran seperti inilah yang dimiliki orang awam. Berbeda dengan orang bodoh yang tidak mau berfikir, bahkan cendrung manut saja.
Menyimak catatan Imam Al Ghazhali, berfikir akan menghadirkan dua pengetahuan dalam hati, untuk menghasilkan dari keduanya pengetahuan ketiga.
Berfikir yang pertama adalah tadzakkur. Tadzakkur adalah jika seseorang hanya berhenti pada batas-batas dua pengetahuan saja, tanpa melampauinya menjadi pengetahuan baru.
Siapa saja yang tidak mencari pengetahuan ketiga, maka ia tidak dapat disebut sebagai “orang yang sedang berfikir”.
Manfaat berpikir adalah memperbanyak pengetahuan dan menarik pengetahuan yang belum diperoleh.” Ima Al-ghazali menggambarkan, berpikir sebagai “Penyulut cahaya pengetahuan”.
Berfikir kedua, dimana anggota tubuh bangkit untuk bekerja sesuai dengan tuntutan situasi hati. Fikiran melewati lima tingkatan : 1) mengingat, yaitu menghadirkan dua pengetahuan dalam hati, 2) berpikir, yaitu mencari pengetahuan yang dituju dari dua pengetahuan tersebut, 3) diperolehnya pengetahuan tersebut dan tersinarinya hati oleh pengetahuan tadi, 4) perubahan kondisi hati, dan terakhir, 5) kesiapan anggota tubuh untuk mengabdi pada hati sesuati dengan kondisi yang baru dialami oleh hati.
Al-Ghazali menetapkan alur pikiran ketiganya, dalam arti wilayah dan masalah-masalah pikiran. Alur pikiran terbatas hanya pada “hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Seluruh pikiran hamba adakalanya berkaitan dengan hamba beserta sifat-sifat dan kondisi-kondisinya, ada kalanya berkaitan dengan yang disembah dengan segala sifat dan perbuatannya.
Yang terkait dengan manusia adakalanya berupa penalaran terhadap sesuatu yang disenangi Allah, atau terhadap sesuatu yang tidak disukai. “Di luar kedua bagian ini tidak ada perlunya untuk dipikirkan”.
Berpikir untuk hal terakhir, yang berkaitan dengan Allah, hanya akan menghasilkan pengetahuan “Yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang diketahui oleh keseluruhan ulama dan wali”.
Sekelumit pemaparan ini penulis mencoba membuka pemikiran kita, agar tidak masuk kelompok pemanut tadi (Taklid).
Penulis dan Jurnalis