Rabu, Juli 9, 2025

HUT Bhayangkara ke-79 Usung Tema Polri untuk Masyarakat

Bengkulu InteraktifPT. Interaktif Media Siber. All Rights Reserved.Bengkulu Interaktif 2016 - Bengkulu Interaktif.Contact InformationHead Office:Jalan Batanghari No. 15, Komp. PU Pracetak, Tanah Patah,...
BerandaSekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu dan Upaya Merebut Keadilan (I)

Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu dan Upaya Merebut Keadilan (I)

M Azzam Prihatno
M Azzam Prihatno

Eko-Sosial; Studi Kasus pada 5 Desa di Kabupaten Lebong

Oleh: M.A. Prihatno

Wacana keadilan sebenarnya adalah sebuah wacana purba, yang muncul sejak proses penciptaan Adam as (manusia) sebagai khalifah. Hal ini disimbolisasikan melalui perintah sujud Iblis kepada sosok Adam, pada kisah ini Iblis menolak untuk melaksanakan perintah sujud karena beranggapan bahwa dirinya lebih mulia dari Adam.

Iblis beranggapan bahwa dirinya yang terbuat dari zat api lebih mulia dibandingkan Adam yang terbuat dari tanah. Ketidakpatuhan Iblis ini merupakan bentuk protes kepada Sang Pencipta yang dimaknainya sebagai sebuah perbuatan tidak adil.

Protes iblis merupakan bentuk “rasa” ketidakadilan yang diterimanya. Dari peristiwa inilah konsep keadilan akhirnya berkembang sesuai dengan dinamika perubahan peradaban.

Suatu hal yang menarik dari kisah tersebut adalah bahwa Iblis tidak mengukur rasa ketidakadilan yang dialaminya dari perspektif ekonomi tetapi dari perspektif identitas-kediriannya.

Terlepas dari benar atau tidaknya apa yang dilakukan oleh Iblis, keadilan dalam idealitanya berpijak pada sebuah identitas-kedirian sehingga indikator keadilan tidak diukur dari hal-hal yang kuantitatif. Dengan berpandangan seperti ini maka keadilan substansial akan tercapai.

Tulisan ini sengaja diawali dari kisah klasik tentang Adam dengan Iblis untuk menunjukkan sejarah konflik keadilan yang pertama terjadi dalam sejarah peradaban manusia yang oleh karena itu akan membangkitkan kembali memori-primordial kita akan sebuah keutamaan kehidupan.

Selain itu, pola pikir tentang keadilan akan terus diintervensi oleh kisah tersebut.
Selanjutnya dinamika konflik keadilan terus berlangsung dalam kehidupan manusia berbanding lurus dengan pola perkembangan peradaban kemanusiaan.

Tema keadilan menjadi sentral utama dalam perkembangan pemikiran manusia. Hal ini seterusnya membentuk pola-pola keadilan yang mengarah pada bentuk “institusional keadilan”. Bahwa dalam hal ini keadilan akhirnya ditransformasikan dalam bentuk-bentuk teori tertentu yang diikat oleh sebuah institusi.

Pada perkembangan berikutnya keadilan dihubungkan dengan konteks tertentu dalam kehidupan manusia sehingga makna keadilan menjadi semakin spesifik, umpamanya keadilan dari kacamata Hak Azasi Manusia (HAM), Kesetaraan Jender, Lingkungan, Ekologi dan lain sebagainya.

Hal ini terjadi karena semakin tajamnya tuntutan akan pemenuhan rasa keadilan dari berbagai komponen kehidupan manusia.

Salah satu tuntutan tentang rasa keadilan adalah berkaitan dengan keadilan eko-sosial, yang muncul karena semakin banyaknya apa yang dianggap sebagai hak oleh masyarakat diambil alih kepemilikannya oleh negara atau korporasi.

Banyak pihak yang telah mendalami persoalan ini untuk diketemukan formula keadilan eko-sosial yang relatif tepat untuk diterapkan pada kondisi kekinian.

Problema keadilan eko-sosial sangat signifikan, selain daripada definisi keadilan eko-sosial itu sendiri, pada saat ini, mengingat pertumbuhan dan perkembangan manusia sangat jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan kekayaan alam.

Dan dengan sendirinya terjadi “perebutan-ekologis” yang dapat memunculkan dampak-dampak ketidakadilan. Dan, seakan-akan sudah menjadi hukum alam, selalu saja yang “menikmati” ketidakadilan tersebut adalah rakyat kebanyakan yang akhirnya mengalami marjinalisasi kehidupan.

Dominasi struktural sangat berperan dalam pemarjinalan ini sehingga masyarakat sampai pada titik tidak berdaya. Ketidakberdayaan ini ditunjukkan dengan semakin sempitnya partisipasi-aktif masyarakat dalam berkehidupan dan semakin dominannya mobilisasi-peran masyarakat.

Pada saat ketidakberdayaan sudah menjangkiti sebahagian besar masyarakat maka hal ini menunjukkan bahwa mereka sudah berada pada kebingungan identitas-kedirian. Suatu keadaan dimana manusia tidak lagi berkehidupan dalam kesadaran sebagai sosok manusia tapi mereka berada pada sebuah kesadaran yang tidak dikenal olehnya.

Akan tetapi kondisi ini bukan berarti identitas-kediriannya telah mati, hanya saja terpasung pada wilayah terdalam dari diri manusia sehingga sulit untuk teraktualisasikan.
Kerja-kerja strategis untuk meresponi fenomena ini selayaknya dilakukan oleh berbagai komponen terkait mulai dari tataran paradigma, konsep-konsep teoritis sampai pada tataran praksis.

Salah satunya adalah melalui pendidikan kesadaran masyarakat. Dalam hal ini Sekolah Pendidikan Hukum Rakyat Bengkulu (SPHR-B) mencoba membangun kembali identitas-kedirian masyarakat yang telah termarjinalisasikan akibat dari ketidakadilan eko-sosial.

Adapun yang menjadi sasaran pendidikan kesadaran masyarakat, dalam hal ini, hanya kami batasi pada lima desa di Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu yaitu Desa Kota Baru, Embong 1, Embong Uram, Plabai dan Kota Baru Santan.

*Penulis Warga Bengkulu