Kamis, Mei 16, 2024

Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu dan Upaya Merebut Keadilan (II)

M A Prihatno
M A Prihatno

Oleh: M.A Prihatno

Profil Ketidakadilan Eko-Sosial di Lima Desa Kabupaten Lebong

Secara administratif Kabupaten Lebong terdiri atas 13 Kecamatan dengan 11 kelurahan dan 100 desa. Luas wilayah keseluruhan 192.424 ha (belum termasuk kecamatan Padang Bano yang masih bersengketa tapal batas dengan Kabupaten Bengkulu Utara). Dari total tersebut seluas 134.834,55 ha adalah kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (111..035,00 ha), Hutan Lindung (20.777,40 ha) dan Cagar Alam (3.022,15 ha). Dengan demikian luas wilayah hutan ini mencapai 75 persen dari total wilayah Kabupaten Lebong.

(Baca Juga: Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu dan Upaya Merebut Keadilan (I)

Dari data di atas maka tergambar bahwa wilayah kelola masyarakat hanya sebesar 25 persen dari luas wilayah Kabupaten Lebong sehingga hal inilah yang menjadi sumber awal munculnya rasa ketidakadilan eko-sosial dan akhirnya terjadi konflik kehutanan hampir di seluruh desa yang ada.

Konflik antara masyarakat adat/lokal dengan kawasan Hutan Negara terjadi sejak tahun 1980-an, kawasan-kawasan yang dulunya adalah wilayah adat dikenal dengan Tanah Marga beralihfungsi menjadi kawasan yang dilindungi untuk kepentingan konservasi ekologi kawasan.

Penetapan fungsi kawasan ini tanpa melibatkan peran partisipasi masyarakat yang bersentuhan langsung dengan kawasan tersebut kalaupun ada sifatnya hanya sebatas mobilisasi belaka. Dengan penetapan kawasan ini kontrol dan akses masyarakat terhadap kawasan tersebut tercerabut dengan sendirinya padahal wilayah tersebut dulunya adalah wilayah kelola rakyat yang berfungsi sebagai sumber penghidupan dan identitas-kedirian masyarakat adat/lokal.

Dari lima desa yang menjadi wilayah sasaran Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu (SPHR-B), 3 (tiga) desa berkonflik dengan Taman Nasional Kerinci Seblat yaitu Desa Kota Baru, Embong 1 dan Embong Uram di Kecamatan Uram Jaya sedangkan 2 (dua) desa berkonflik dengan Hutan Lindung Boven Lais Register 41 dan Konflik Tapal Batas dengan Kabupaten Bengkulu Utara yaitu Desa Kota Baru Santan dan Plabai di Kecamatan Plabai.

Kronologis konflik Masyarakat Embong Uram, Embong 1 dan Kota Baru dengan Taman Nasional Kerinci Sebelat sebagai berikut ;

1. Pada tahun 1927 sebagai kawasan hutan di Desa Embong Uram, Embong 1 dan Kota Baru oleh Pemerintah Kolonial dijadikan sebagai kawasan BW, namun dalam proses penetapannya dilakukan secara bersama antara Pemerintah Kolonial Belanda dengan Pemerintahan Adat Marga Suku IX.

2. Pada tahun ± 1980-an kawasan BW dan buffer zone kawasan BW dijadikan sebagai Daerah Kawasan (DK),atau daerah cadangan.

3. Pada tahun ± 1980-an terjadi konflik antara masayarakat adat/lokal yang ada di Kabupaten Lebong dengan kawasan Hutan Negara (DK),kawasan-kawasan atau wilayah yang dulunya adalah wilayah adat yang dikenal dengan Tanah Marga beralih fungsi dari wilayah produktif masyarakat menjadi kawasan yang dilindungi untuk kepentingan konservasi ekologi kawasan.

4. Pada tahun 1982, kawasan DK berubah fungsinya menjadi kawasan Konservasi atau Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982.

5. Pada tahun 1999, Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 diperkuat berdasarkan oleh Kementrian Kehutanan dalam bentuk SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 bahwa kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi.

Kronologis konflik Masyarakan Desa Plabai dan Kota Baru Santan dengan Hutan Lindung Boven Lais Register 41 dan konflik tapal batas dengan Kabupaten Bengkulu Utara, sebagai berikut:
1. Pada tahun 1927 penetapan kawasan BW oleh Pemerintahan Belanda, kemudian pihak Wedana Lebong (Belanda) dengan Pemerintahan Marga bersepakat untuk membolehkan masyarakat mengelola sampai jarak 500 m setelah batas kawasan Hutan Lindung (BW).

2. Pada tahun 1974 terjadi perubahan batas antara Kabupaten Rejang Lebong dengan Kabupaten Bengkulu Utara secara sepihak yang dilakukan oleh Pemerintahan Kabupaten Bengkulu Utara.

3. Pada tahun 1977 pihak Kabupaten Bengkulu Utara melakukan pemasangan patok perluasan wilayah. Patok batas wilayah ini adalah patok pertama yang ditetapkan Kabupaten Bengkulu Utara yang berada di luar batas wilayah Kabupaten Bengkulu Utara.

4. Pada tahun 1979 terjadi perubahan Marga menjadi Desa berdasarkan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

5. Pada tahun 1983, pemerintahan Marga serentak dicabut di lingkup Propinsi Bengkulu. Pada masa inilah hak-hak wilayah adat berubah menjadi kawasan negara.

6. Tahun 1980-1985, PT Yamaja dan PT Raja Rimba diberi izin pengelolaan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di lokasi hutan Marga Suku IX.

Kronologi sederhana di atas disampaikan sekedar untuk menggambarkan bahwa ada kekuatan struktural yang mempengaruhi eksistensi masyarakat sekitar hutan yang melibatkan negara dan korporasi. Tekanan struktural ini dicurigai sebagai perwujudan dari paham eko-fasisme dan eko-developmentalisme yang dianut oleh penyelenggara negara.

Selain itu, dapat di ketahui para pihak yang terlibat dalam konflik eko-sosial ini, antara lain:

1. Masyarakat Adat/Lokal, sebagai pihak terbesar yang mengalami dampak dari tekanan struktural dan dapat dikategorikan sebagai korban. Mereka inilah yang terlibat secara langsung dalam konflik. Kekayaan alam yang coba dipertahankan bukan saja penting bagi mereka dari sisi ekonomis tapi juga merupakan identitas-kedirian bagi budaya mereka.

2. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Swasta adalah kelompok selanjutnya yang merupakan penikmat terbesar dari kekuatan struktural. Mereka inilah yang telah mendapatkan izin pengelolaan atas sebidang tanah.

3. Pemerintah Pusat dan Daerah. Keterlibatan mereka lebih banyak pada pemberian izin kelola kepada korporasi yang tumpah tindih dengan hak kelola masyarakat adat.

4. Aparatur penegak hukum. Dalam hal ini mereka terlibat bahkan dilibatkan dalam konflik dengan alasan klasik dalam rangka untuk menegakkan ketertiban hukum.

Untuk menemukan bentuk ketidakadilan eko-sosial perlu juga diketahui profil secara kultural masyarakat yang berkonflik sehingga akan diketahui apakah benar kekuatan struktural tersebut telah berlaku tidak adil? Dan apakah masyarakat adat/lokal tidak mampu melakukan pembelaan terhadap hak-hak yang dimiliki?

Dari tuturan sejarah yang didapati di Desa Plabai, Kota Baru Santan, Embong Uram, Embong 1 dan Kota Baru bahwa kelima desa ini adalah kesatuan tenurial geneologis (keturunan) yang masuk ke dalam kelembagaan Margo bernama Suku IX, yang disebut Kutai, yaitu kesatuan yang berdiri sendiri dan merupakan bagian dari unit Petulai atau Marga Suku IX.

Pembentukan Kutai atau Dusun adalah melalui proses penyebaran Anak Petulai (anak suku) sehingga melalui anak-anak keturunannya yang dihitung menurut garis keturunan laki-laki (patriakhi) dengan jalan membuka dusun-dusun baru, yang dalam bahasa Rejang disebut menyusuk, yang pada mulanya hanya berada di Dusun atau Kutai Plabai tetapi kemudian meluas ke wilayah-wilayah Rejang lainnya.

Asal mula pembentukan dusun-dusun baru bukan atas dasar ekspansi komunitas tetapi lebih karena kedudukan yang otonom di antara para lelaki Tuai Kutai dari dusun asal. Tiap-tiap dusun yang dibentuk mempunyai hak untuk mengurus urusannya sendiri dengan dipimpin oleh Tuai Kutai. Tuai Kutai disebut juga dengan Depati, Ginde dan saat ini disetarakan dengan Kepala Desa walaupun makna budaya lokal secara substantif tidak dapat ditemui dari Kepala Desa.

Kalau dilihat pola masyarakat adat dalam membentuk dusun, terlihat bahwa peran ketokohan dan unsur geneologis sangat menentukan sehingga pola hubungan kemasyarakatan yang terbentuk dengan sendirinya sangat dipengaruhi oleh hal tersebut. Sistem kekeluargaan sangat menonjol dalam hal ini. Dengan ini mereka membentuk identitas-kediriannya tanpa ada intervensi kekuatan struktural negara.

Susunan pemerintahan dusun pun terbentuk sesuai dengan analisa kondisi daerahnya. Dalam pola penyusunan pemerintahan dusun yang seperti ini, masyarakat desa akan membentuk struktur pemerintahannya sesuai dengan adat dan kebiasaan yang ada. Keinginan-keinginan untuk eksploitasi kekayaan alam secara besar-besaran akan terhindar. Selain itu kekayaan alam yang ada hanya akan diperuntukkan untuk pemenuhan kebutuhan dusun dan masyarakatnya. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan para investor yang menganggap kekayaan alam sebagai komoditas ekonomi.

Pembentukan dusun seperti yang pernah terjadi di Kabupaten Lebong ini, mungkin juga di daerah-daerah lain di negara ini, akan dengan sendirinya menjadi sebuah dusun yang memang cocok dengan identitas-kedirian masyarakat setempat, sehingga pola partisipasinya sangat menonjol. Kalaupun ada mobilisasi itu pun akan dibingkai oleh sebuah kebijakan yang kebijakan mobilisasi seperti ini lebih dikenal dengan istilah gotong-royong.

Maka, dengan terbitnya UU nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa yang mengatur pola hubungan kemasyarakatan dipedesaan dalam sebuah keseragaman, sejak itu dusun atau desa yang selama ini dibentuk atas kecerdasan lokal masyarakat setempat menjadi hilang. Desa/dusun akhirnya tidak lagi sebagai sebuah ikatan kekeluargaan yang penuh dengan nilai-nilai luhur daerah tetapi menjadi sebuah desa yang diatur melalui pasal-pasal sebuah undang-undang yang kering dari nuansa spiritual pedesaan.

Akibat yang paling fatal dari UU tersebut adalah masyarakat pedesaan tercerabut dari identitas-kediriannya. Inilah yang disebut sebagai masyarakat yang hidup pada “kesadaran yang tidak dikenalnya”. Masyarakat yang seperti ini akan dinamis hanya jika dimobilisasi oleh suatu kekuatan struktur. Maka sangat wajar untuk mendinamisasikan pedesaan dibutuhkan program yang dinamakan PNPM (Program Pemberdayaan Masyarakat Mandiri).

Selanjutnya, desa akhirnya teranggap sebagai bagian struktural dari sebuah negara bukan lagi sebagai bagian pembentuk kesatuan-budaya sebuah negara. Dari sinilah pada akhirnya negara berwenang menetapkan kebijakan-kebijakan kepada pedesaan meskipun dengan mengangkangi hak-hak budaya masyarakat. Dan, inilah yang terjadi di 5 desa yang kami maksud, mereka akhirnya berkonflik dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Hutan Lindung, dan Hak Pengelolaan Hutan Terbatas (HPT).

Tekanan kebijakan struktural negara yang dialami 5 desa tersebut secara perlahan namun massif membunuh kebijakan-kebijakan lokal. Dari interaksi yang dilakukan SPHR-B dengan masyarakat di 5 desa tersebut diketemukan sangat sedikit masyarakat yang tahu, apa lagi paham, tentang kebijakan lokal yang pernah hidup di daerahnya bahkan untuk tokoh masyarakat setingkat Kepala Desa. Akibatnya untuk konflik yang berkaitan dengan hutan negara semakin tertanam di diri mereka bahwa mereka adalah “perambah hutan” bukan sebagai “pengelola hutan”. Sedangkan untuk desa yang berkonflik dengan korporasi terpersepsi di diri mereka bahwa wajar saja investor di beri izin kelola terhadap hutan karena mereka lebih “pintar” dan punya “modal”.

Merasa diri sebagai “perambah hutan” , “bodoh” dan “miskin” inilah yang akhirnya membunuh potensi kreatif yang dahulu pernah sangat mendominasi daerah ini. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kondisi pada saat desa masih dibentuk melalui kekuatan kultural. Bahwa masyarakat desa adalah tempat mencari kedamaian dan petuah-petuah sederhana yang bijak telah hilang akibat dominasi struktural.

Hal lain yang menjadikan masyarakat pedesaan tercerabut dari identitasnya adalah “rasa takut” yang terus tumbuh akibat tuduhan-tuduhan sebagai perambah hutan. Dari “rasa takut” akan tuduhan sebagai perambah berkembang takut kepada aparatur negara.

Maka, sebenarnya ketidakadilan eko-sosial yang dialami masyarakat di 5 desa tersebut hanyalah akibat dari paradigma kehidupan bernegara yang dipaksakan kepada warganya. Atau dengan kata lain ketidakadilan eko-sosial merupakan bagian ketidakadilan substansial yang dilakukan negara.(Bersambung)

Penulis Warga Bengkulu

Related

Bupati Gusnan Laksanakan Bujik’an Dusun di Desa Jeranglah

Bupati Gusnan Laksanakan Bujik’an Dusun di Desa Jeranglah ...

Hari Kedua Bujik’an Dusun Bupati, Pemda BS Gelar Stand Pelayanan Pemerintahan

Hari Kedua Bujik’an Dusun Bupati, Pemda BS Gelar Stand...

Sekda Sukarni Minta Agen Kewaspadaan Peka Mendeteksi Permasalahan

Sekda Sukarni Minta Agen Kewaspadaan Peka Mendeteksi Permasalahan ...

Bengkulu Selatan Miliki Tim Reaksi Cepat yang Bertugas Kedaruratan

Bengkulu Selatan Miliki Tim Reaksi Cepat yang Bertugas Kedaruratan ...

Warga Agung Jaya Terima BLT Dana Desa Tahap Pertama

Warga Agung Jaya Terima BLT Dana Desa Tahap Pertama ...