Tekad anak negeri ingin “Adat Bersendi Sarak, Sarak Bersendikan Kitabullah”. Itulah pepatah melayu lama yang seyogyanya “Tak Lapuk Karena Hujan, Tak Lekang Karena Panas”.
Itu maunya anak negeri. Ingat…….Lenggak seseorang tidak selalu sama dengan lenggoknya. “Akibatnyo, orang itu bakal bejalan meredeng-redeng. Tapi ingek…..meredeng-redeng caknyo ajotu. slip-slip mecci jugo enyo tu”.
Memangnya kekuatan ada ditangan anak Negeri Bengkulu ? Anak negeri lupa, kalau segengam kekuasaan lebih berharga dari sekeranjang kekuatan. Jangankan berharap adat budaya dapat tegak kokoh berdiri di negeri sendiri, ngurusi perut, belanja keseharian saja itu belum dapat lancar terpenuhi. Pupuslah karakter anak negeri.
Lantas, apakah karena itu semua, maka adat istiadat, budaya anak Negeri Bengkulu harus di bumihanguskan? Bila itu di benarkan, maka itu tentunya malanggar hak konstitusi masyarakat. Sesuai UUD 1945 Pasal 18B, untuk menjaga dan melestarikan adat istiadat yang ada. Termasuk mengangkangi Undang- Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan
Masalahnya sekarang adalah, Gedung Balai Adat Bengkulu yang awalnya diharapkan menjadi tempat rapat adat, seni dan budaya itu, sudah tidak digunakan lagi. Dibiarkan rusak. Malah kini akan di gunakan untuk Kantor Dinas Pariwisata Kota Bengkulu, bukan diberdayakan untuk masyarakat adat seni dan budaya yang hidup ditengah masyarakat Bengkulu.
Bahkan sebelumnya sudah direncanakan untuk tempat hanimun atau bulan madu. Bahasa lainya tempek pengantin beradu. Terlepas itu barang baru stok lama, atau barang lama stok baru.
Adat istiadat, seni dan budaya itu merupakan akar dari pendidikan anak negeri. Bukan akar dari gigi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan lahir untuk melindungi, memanfaatkan, dan mengembangkan kebudayaan Indonesia. Dalam UUD 1945 Pasal 32 ayat 1 disebutkan, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
Apakah solusinya? Seorang teman langsung memerintahkan diam. Katanya, bukan kewenangan Cik untuk memberikan solusi. Apalagi Cik bukan orang pengambil kebijakan yang di upah.
Tapi paling tidak, dengan tidak diberlakukannya Perda adat, di abaikannya sarana dan prasarana adat, menunjukan indikasi mematisurikan adat seni dan budaya anak Negeri Bengkulu. Padahal ini bukan Negeri Kukang. “Mato tejegil, tapi gerakan, kecekatan selalu slow”.
*Wartawan tinggal di Bengkulu
The post Girik Cik: Matisuri Peradatan di Negeri Bukan Kukang appeared first on suaramelayu.com.